Menuju Arsitektur Naungan

Tulisan ini adalah rangkuman beberapa tulisan saya sebelumnya;
 
Kita berada dalam krisis diskursus arsitektur, dimana hilangnya perdebatan arsitektur yang mendasar seperti ketika adanya perubahan dari pre-modern ke modern, dari modern ke postmodern. Ketika manifesto dan konsep bertebaran di debat dan di tes dalam bentuk keterbangunan. Kini, arsitektur seperti lepas ke segala arah mengikuti kondisi ekonomi pasar dan arus globalisasi. Karya kontemporer sibuk dengan permainan geometri. Pilihannya sekedar semakin rumit atau semakin sederhana dengan material tertentu tapi tanpa makna yang mendalam. Makna ‘baru’ hari-hari ini adalah tentang permainan tersebut.
 
Arsitektur berdiri sendiri, bermain dalam ego geometri atau mungkin phallus centris, yang berpusat atau menginginkan dirinya superior terhadap sekitarnya. Arsitektur kehilangan konteks, karena banyak dari bangunannya bisa di letakkan dimana saja. Bentuk yang hadir tanpa korelasi dengan konteks bahkan banyak yang lepas tak memperkuat kota atau lingkungan tempat ia berdiri.
 
Arsitektur hanya permainan tanda, bentuk dan visual. Ia tidak di pikirkan sebagai permainan emosi manusia. Tapak hanya menjadi kanvas bentuk yang sekedar di lihat secara 3 dimensional tanpa menstimulasi indera tubuh kita. sibuk dalam desain komunikasi visual atau bentuk tanpa makna secara keruangan. Dengan segala teknologi 3 dimensi dan perangkat manipulasi gambar, kita lebih banyak berkutat lewat citra-citra spektakuler karena dorongan pasar. Arsitektur Bukan sekedar produk citra-citra sukses seorang arsitek di media sosial dengan citra rendering atau hasil photoshop yang spektakuler.
 
Sudah 50 tahun, Post-modern sejak kelahirannya menjadi momok menakutkan di dunia arsitektur. Sesuatu yang terus menerus di hindari oleh mahasiswa dan praktisi, tetapi pada kenyataannya taktik dan metodenya telah berhembus dan terbangun dengan diam diam. Setiap orang melakukan post-modern. Setiap orang melakukan dekorasi. Kita kurang lebih sepakat seakan mempertanyakan “otentik”. Kini setiap orang bisa menggunakan sejarah, budaya, referensi, tema, metafora, memori, pengalaman, sebagai metode tanpa rasa malu. Alih alih arsitektur modern yang terlalu dingin dan mewakili imperialisme, post-modern atau melalui sebutan(teori) lainnya hadir sebagai jawaban atas pluralisme, mewakili suara-suara keragaman. Modern yang sebelumnya menjadi semangat jaman baru, pemersatu, kini digantikan dengan bahasa lebih sopan, melalui abstraksi abstraksi identitas, seringkali dalam bentuk yang lebih sederhana.
 
Dalam sejarah arsitektur Indonesia, modernisme tidak pernah benar benar terjadi menjadi gerakan sama seperti di Amerika, ia hanya menjadi sebuah gaya. Begitu juga dengan post modernisme yang alih-alih menjadi semangat pembawa keragaman atau lomba otentisitas atas dorongan konsumerisme.
 
Fungsi, teknologi, dan wajah arsitektur, berkembang akumulatif dengan sistem sosial hingga politik pada zamannya. Arsitektur di Indonesia sekarang memiliki tantangan dengan semakin terbukanya informasi lewat teknologi informasi. Arus deras informasi baik teknologi, teori, visual turut serta memeriahkan praktik arsitektur di Indonesia. Arsitektur di Indonesia sekarang selain memiliki dimensi sosial yang kian kompleks, juga memiliki permasalahan menyaring informasi dan tanda tanda untuk kemudian memilih yang bisa disesuaikan terhadap tempat.
 
Kita perlu optimis, karena kita hidup di masyarakat dengan tradisi yang unik dan kuat. Kita memiliki eksotisme budaya yang bisa menjadi inspirasi pendidikan arsitektur yang bisa berkembang sesuai dengan tempat. Kekayaan yang disaat negara lain di banyak tempat berubah menjadi kota yang semakin generik dan anonim. Tetapi penggunaan budaya ini perlu di kritisi sehingga pengalaman dari sejarah modern hingga post modern yang membentuk ide atau gagasan di dalamnya menjadi sekedar jargon karena tidak terjadi dengan benar.
 
Saya mencoba menarik kembali pemikiran arsitektur terhadap tempatnya. Untuk Indonesia, saya memahami iklim tropis sebagai faktir terbesar kita bertinggal dan menyelesaikan masalahnya. Arsitektur Naungan adalah salah satu metode dan gagasan untuk menyelesaikan masalah-masalah pada iklim tropis. Berikut ini adalah spekulasi saya tentang gagasan bagaimana arsitektur naungan memecahkan masalah dengan menarik diri ke akarnya, sebuah tempat di iklim tropis.
 

1 Arsitektur Naungan dan bentuk vernakular

 
Perlu di pahami bahwa konsep naungan adalah pemikiran yang menarik ke akarnya tentang bagaimana arsitektur dihasilkan atas keadaan geografis khususnya iklim dalam hal ini tropis. Arsitektur naungan bukan menjadi gaya arsitektur tetapi hasil pemikiran tentang kondisi tempat dan bagaimana arsitekturnya kemudian bersikap sejujurnya terhadap bahan dan teknologi yang ada. Arsitektur naungan bukan juga perletakan sekedar ornamen ataupun bentuk vernakular masing-masing daerah yang menjadikan dirinya sebuah kepalsuan yang dipaksakan menjadi lokal. Arsitektur naungan bukan menjadi jargon atau alat untuk menghasilkan politik identitas dan memunculkan kefanatikan atas budaya setempat. Arsitektur naungan adalah pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab mitos-mitos seperti pada arsitektur vernakular yang kadang bias karena proses pentransferan informasi pada generasi yang baru. Arsitektur naungan adalah dorongan untuk mencari masalah yang mengakar pada masalah arsitektur dan tempat/geografis khususnya iklim tropis.
 
2 Komposisi mintakat yang Menembuskan / keharmonian dengan alam
 
Keunggulan iklim tropis bagi tubuh adalah suhu lingkungan yang lebih banyak dapat di terima oleh kenyamanan tubuh tetapi memiliki efek seperti timbulnya kelembapan yang tinggi. Ruang menjadi cair karena baik ruang dalam luar dapat digunakan secara aktif dalam fungsi kegiatan manusianya. Kecairan ruang ini adalah eksplorasi yang tak terbatas baik mempertanyakan definisinya kembali atau melakukan eksplorasi yang pragmatis mencairkan kegiatan diruang-ruang luar dan dalam atau gabungan keduanya. Mari kita coba bayangkan tentang musik. Jika setiap nada dimainkan dengan jeda yang sama, kita tidak akan mendengarkan sebuah musik. kita akan dapatkan sekedar suara. Musik akan di dapatkan ketika suara dikontraskan dengan diam. Meragamkan motif suara dan diam menciptakan melodi. Tanpa diam, tidak akan ada musik. Seperti musik, pengaturan ruang luar dan dalam, memiliki fungsi yang sama, merangsang melodi namun secara inderawi. Ruang terbukayang biasanya identik menjadi negatif karena tidak digunakan secara aktif justru memberikan ruang-ruang dalam/positif untuk bernafas. Ruang positif bisa di nikmati lebih indah ketika kontras dengan negatifnya dan bahkan sebaliknya. Pengaturan ruang positif/negatif ini kemudian dapat berhubungan dengan kualitas, kesederhanaan, kebersihan, kemewahan, keheningan, dan keterbukaan
 
3 Atap sebagai elemen utama
 
keberadaan atap sangat penting di arsitektur naungan, karena esensi bertinggal dan beradaptasi dengan lingkungan tropis, atap adalah kuncinya. Sehingga rancangan banyak mendominasi cara kerja atau konstruksi atap untuk menaungi fungsi-fungsi yang kita inginkan. Penjelajahan rancangan atap ini menghasilkan ragam yang tak terbatas dengan inspirasi disekitar kita untuk mencapai kenyamanan. Pencapaian kenyamanan ini perlu melihat bagaimana atap mengatasi hujan dan panas yang tidak nyaman. Tidak berhenti pada konsep atap, dengan mengadaptasi teknologi yang terbaru juga membuat satu spekulasi baru; apa yang terjadi setelah atap sudah memberikan jawaban atas masalah naungan? Mendefinisikan naungan sebagai atap sebagai elemen terpenting, juga memberikan satu kebutuhan eksplorasi tentang “keringanan”.
 
4 Usaha yg berkelanjutan mencairkan sempadan
 
Mendefinisikan ulang tentang batas atau sempadan sebuah perhinggaan suatu tempat/ruang menjadi satu bagian penting bagaimana kita menyelesaikan kecairan ruang luar-ruang dalam atau ruang positif-ruang negatif. Kita bisa memiliki peluang meredefinisi tentang batas untuk membangun lingkungan baru, menyesuaikan potensi iklim dan konteks untuk interaksi sosial, aktifitas dan organisasi ruang yang akan kita bangun. Pencarian tentang batas ini kemudian diharapkan menghasilkan spekulasi lingkungan yang lain. Sebuah dorongan untuk melampaui sekedar kulit bangunan yang biasanya kita bangun untuk melingkupi kegiatan di dalamnya. Kita perlu melakukan lebih dari sekedar memindah aktifitas menjadi terlindungi atau ternaungi. Kemungkinan yang lebih obyektif bagaimana arsitektur di iklim tropis melalui pengolahan batas dan mintakatnya kembali memberikan sumbangsih alternatif terhadap kenyamanan manusia yang menempatinya daripada sekedar menyerahkannya pada sistem yang canggih.
 
5 Kejujuran bahan dan konstruksi
 
Begitu banyak pertanyaan tentang keindahan dan kenyamanan dalam arsitektur saat-saat ini. Teknologi berkembang sedemikian rupa, sehingga bahan dan material arsitektur dapat menyesuaikan keinginan penggunanya. Bahan kini berkembang dan digunakan seolah-olah untuk mencapai menyatakan dirinya lokal atau kualitas ekonomi yang tinggi untuk bersaing pada dunia yang larut dalam pasar. Bahan digunakan untuk sebuah citra sehingga arsitek bisa bersaing dengan pasar. Tidak ada yang salah sebenarnya dalam usaha bertahan hidup dan larut dalam pasar. Arsitektur naungan adalah usaha alternatif untuk mempertanyakan obyektifitas sebuah arsitektur termasuk proses penciptaannya di iklim tropis, sehingga bisa menjadi jalan untuk mempertanyakan bahan sesuai dengan fungsinya diluar politik identitas. Penggunaan bahan sebaiknya bukan tentang keseolah-olahan tetapi sesuai dengan karakteristik bahan dan konstruksinya tanpa melupakan bubuhan subyektif.
 
6 Kesadaran Menempatkan Subyektifitas
 
Setiap arsitek memiliki pengalaman dan kesadaran untuk memakai subyektifitas yang membedakannya dengan arsitek lain dalam rancangannya. Sejarah dalam arsitektur vernakular menjawab bahwa subyektifitas di gunakan setelah fungsi dasar terselesaikan. Tetapi dalam perjalanannya bubuhan subyektif menjadi bias, ia menjadi mitos atau tradisi yang sulit di hilangkan karena alasan penghormatan dan kepercayaannya. Pada kepercayaan setempat kita justru menemukan gagasan arsitektur adalah cara manusia berinteraksi terhadap yang liyan atau kekuatan yang tidak dapat dimengertinya. Dengan menghormati dan hidup berdampingan dengan yang liyan, subyektifitas muncul dalam karakter-karakter dan ornamentasi arsitektur. Arsitektur naungan adalah usaha untuk menempatkan gagasan obyektif di depan sebelum kita meletakkan subyektifitas dalam memecahkan masalah arsitektur di iklim tropis. Pada gagasan itu sendiri saya memiliki beberapa ide yang saya percaya menyelesaikan masalah dalam pembentukan arsitektur, seperti misalnya; keringanan untuk mencapai keternaungan, cinematic void, perjalanan sebagai ragam pencapaian ruang, lengkung sebagai gugatan thd yg normal, sudut yang berkurang 5 derajat, semangat kesatuan, memori kolektif sebagai pendekatan tradisi, ruang sebagai latar akan fungsi, rumah sebagai latar akan awal dan akhir, lapis-lapis vertikal, dan menyederhanakan fungsi dalam dimensi
 
7 Keringanan; alat mencapai keternaungan
 
Dalam arsitektur naungan, elemen naung adalah elemen terpenting yang membentuk arsitekturnya. Dinding adalah kebutuhan khusus yang dibuat setelahnya dengan alasan-alasan praktikal atau fungsi-fungsi khusus. Untuk menampilkan keternaungan tersebut, bagi saya perlu ada usaha khusus untuk membuatnya sebagai elemen yang ringan. Keringanan, perlu di capai karena pada dasarnya pencapaian struktur atap pada bangunan vernakular mencontohkan penggunaan struktur kayu yang melayang agar terciptanya kanopi-kanopi yang mencairkan secara horizontal ruang positif dan negatif. Mencairkan dalam arti memberikan ruang positif yang terhindar dari hujan dan panas langsung tanpa memutus hubungan dengan alam dalam bentuk batas dinding. Untuk mencapai keringanan ini, maka kedepannya saya memerlukan eksplorasi-eksplorasi keringanan baik secara bentuk bangunan, keharmonian ruang negatif-positif, menekan efesiensi struktur ke dimensi minimalnya, jendela aktif-bukan bukaan mati yang besar, detail-detail konstruksi yang membuatnya menjadi ringan, Dematerialisasi atau bahan yang sederhana tidak menjadi dominan, dan pencarian teknologi bahan yang menembuskan

About the author