Jejak*
kotakotak**
(keyword: Jakarta, manusia, kontrak sosial, konsumerisme, subjek, hierarki, eksistensialisme, demokrasi, sandal jepit)
dipamerkan untuk Jakarta Biennale 2011, “MAXIMUM CITY : SURVIVE OR ESCAPE | Violence and Resistance” di Galeri Nasional, 15 desember 2011 – 15 januari 2012
Latar Belakang
“Kau seperti bis kota atau truk gandengan; mentang-mentang paling besar klakson sembarangan;
aku seperti bemo atau sandal jepit; tubuhku kecil mungkil biasa terjepit…”
Virgiawan “Fals” Listanto
Jakarta tumbuh dari pola konsumsi masyarakatnya yang mudah terpukau. Bermula dari perkampungan besar heterogen, yang kemudian difabrikasi menjadi Ibukota dengan menggerus kekayaan alam Nusantara tanpa peduli iritasi yang menyusul. Di dalamnya, masyarakat Jakarta melahap apapun yang ditawarkan dalam perampingan nilai manusia. Pola konsumsi yang tak terpuaskan, muncul ketika kesadaran akan guna tak jadi utama dibanding metafora yang menyusup. Dan pada komunitas yang bercampur tanpa pernah senyawa, fabrikasi kebutuhan konsumsi yang mengusung keunggulan individu menjadi tak lekang.
Di antara fenomena tren gaya hidup yang bersaing menjadi hegemoni, tersebut satu yang abadi menuruti zaman: sandal jepit. Alas kaki yang memperoleh julukannya dari moda pakainya yang membutuhkan kelengkapan telunjuk dan jempol kaki seseorang–yang menjepitnya–demi menempatkannya selalu di bawah telapak kaki orang tersebut selama bergerak, bekasnya telah ditemukan dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun lampau di Mesir kuno. Perwakilannya di Indonesia, memang tak pasti tercitra dari kesadaran sejarah yang melintas ruang-waktu, dan tak jelas jejaknya hingga mencapai konteks yang kini diangkat, namun, nampak bahwa keterserapannya telah mengakar.
Sandal jepit kami usung sebagai simbol, sekaligus paradoks kehidupan ber-Jakarta. Pemakaian sandal jepit pada keseharian menunjukkan pola interaksi yang tanpa pretensi (ketika seorang merasa nyaman dengan posisinya pada suatu aktivitas sosial, atau ia tak memiliki kebutuhan mengkomunikasikan kenyamanan bagi lawan sosialnya), dan karenanya, dapat dengan mudah ditemui pada beragam kesempatan. Sebaliknya, sandal jepit menjadi pilihan yang kurang lazim pada konteks yang lebih formal, seperti: institusi pendidikan, ruang sidang, kantor pemerintahan, atau acara temu Presiden, meski uniknya, kita dapat menemukan pemakaian sandal jepit pada resepsi pernikahan yang paling formal (meski dalam balutan bentuk atau material yang disesuaikan).
Ketersediaan sandal jepit mulai yang paling murah(an) hingga yang harganya (jauh) melampaui pemasukan rata-rata penduduk Indonesia, serta kemudahannya untuk diperoleh mulai dari warung remang di sisi jalan, hingga gedung pusat perbelanjaan, mengubahnya menjadi simbol yang lekat dengan hidup Jakarta. Imaji sandal jepit yang dicoret, dapat dijumpai di mana pun demi menandai tempat yang mengusung formalitas–karena dianggap bertentangan dengan konstruksi nilai kesopanan Jakarta yang (cenderung) menyerap budaya Barat, selain untuk membahasakan sandal jepit sebagai generalisasi alas kaki (dan simbol sandal jepit di situ turut mewakili sepatu, selop, atau jenis alas kaki lain), yang justru mempertegas sandal jepit dalam pilihan beralas-kaki, mewakili yang banyak dalam kejamakan.
Fenomena “demokrasi” penggunaan sandal jepit, makin terasa ketika dikontraskan dengan konteks Jakarta yang notabene merupakan kota paling “urban” di Indonesia. Hal yang menarik kami untuk menobatkan sandal jepit sebagai identitas ke-Jakarta-an.
Konsepsi dan Aplikasi
“Man is born free, and everywhere he is in chains.”
—Jean-Jacques Rousseau
Konsepsi akan kesamaan dalam keragaman—seperti yang tertera di Jakarta—membawa implikasi hilangnya “subjek” dalam kondisi kota yang kehendak bebasnya telah habis digerogoti kapitalisme—sehingga terjebak konsumerisme dalam identitas diri yang metaforikal. Kata “kami” yang sejatinya terkonstruksi oleh tujuan (Rousseau , 1762), diisi oleh “kami” yang sekadar terikat oleh kepentingan, sehingga, dalam persepsi sosial yang lebih kecil tak lagi mewakili “kami” yang membutuhkan kesamaan. Individu yang sejatinya bebas saat ia terkekang oleh individu-individu lain dalam menyuarakan ideologi yang satu frekuensi (Noelle-Neumann, 1984), menjadi individu yang diroketkan dalam kesadaran akan “aku”. Dan ketika kesadaran akan kebutuhan sang “aku” digantikan oleh keinginan yang diinduksikan oleh kesadaran yang eksternal, “aku” kemudian terobjekfikasi dalam larutan metafora yang dikonstruksikan di lapisan terluar “aku” yang sejati.
Sandal jepit, dalam konteks referensi kota Jakarta, kami pandang sebagai objek sederhana yang telah larut dalam keseharian, namun memiliki nilai intrinsik (di luar fungsinya) yang mampu mewakili banyak kesadaran. Keseragaman persepsi dalam menyikapi keberadaan sandal jepit ditunjukkan ketika semua individu mampu mengidentifikasi wujudnya, mengapresiasi gunanya dalam kehidupan sehari-hari, serta memahami keberadaannya sebagai moda alas kaki yang paling dasar. Tetapi di luar kesadaran formal tersebut, sandal jepit turut melambangkan hierarki masyarakat yang menganga, ketika alas kaki yang sejatinya tak banyak membutuhkan inovasi, dipasarkan dalam balutan eksklusifitas palsu dan dimaknai (oleh “aku” maupun oleh yang eksternal) menurut pengejawantahan individualisme—mempertontonkan identitas individual yang materialistik.
Sandal jepit juga mewakili keadaan bermukim yang (dipaksa untuk) selalu bergerak—karena pertumbuhan Jakarta yang cenderung terpusat namun horizontal, serta matinya kesadaran jati diri. Yang tersisa hanyalah jejak yang material tanpa signifikansi makna, manusia yang tak lagi berlaku dan/atau diperlakukan sebagai subjek.
**
Kotakotak merupakan wadah kolektif kolaboratif yang berupaya mengolah rupa, gerak, suara, menjadi suatu bentuk inovasi media yang memadukan rangsang-rangsang terpisah menjadi suatu bentuk gubahan rangsang baru dengan memberi pengalaman lengkap akan dunia yang terbentuk dari kombinasi tanpa batas antar kosakata rangsang yang mampu diserap oleh indra.