[1]
Catatan si penata pencahayaan
Pagi itu, di jam kedua saya bertugas mengajar adik-adik kelas 6. Latar belakang pendidikan saya adalah arsitektur tapi hari itu saya bertugas mewakili pengenalan impian kepada siswa-siswi SDN Duri Pulo 03 pagi dalam bidang ilmu yang saya geluti sekarang yaitu lighting design.
“Siapa yang tahu apa profesi kakak? ”
“Tukang lampu!” celetuk salah satu siswa yang sepertinya terlihat paling berani, mungkin karena ketauan dari awal saya membawa-bawa lampu meja mencolok berwarna merah. Hahaha, dalam hati sedikit tertawa sedih tapi geli karena saya dibilang tukang.
“Kurang tepat. Sedikit lagi!” kata saya.
Dan benar saja, setelah saya jelaskan bahwa saya ini lighting designer semua anak di kelas itupun mengaku tidak tahu tentang profesi saya. Lalu saya mencoba menerjemahkan dengan bahasa yang paling sederhana, saya ini perancang pencahayaan. Khususnya yang ada hubungannya dengan bangunan, bukan seperti pencahayaan yang mereka pernah lihat dari kakak-kakak fotografer ataupun pencahayaan panggung artis-artis korea kesayangan mereka.
Saya ilustrasikan dengan logika sederhana – saya suruh mereka memejamkan mata. Saya tanya, apakah mereka bisa melihat jika mata terpejam-gelap dan tidak ada cahaya? Mereka sambil setengah bergumam menjawab “tidaak”. Dari situlah saya mulai menyisipkan ide-ide tentang hal-hal apa sajakah yang dikerjakan oleh lighting designer. Saya sampaikan bahwa tugas kami adalah tidak sekedar memilih jenis lampu, warna lampu, sudut jatuhnya cahaya, memilih tempat yang tepat untuk meletakkannya tapi yang paling penting adalah menciptakan suasana yang paling “enak dan nyaman” untuk kita berkegiatan; membaca, menulis, menari, dsb.
Ya…pemilihan kata sangat penting untuk menjelaskan semua hal tentang profesi kita kepada adik-adik SD ini. Jika biasanya kita menjelaskan tujuan perancangan kita kepada client adalah untuk menciptakan ruang yang “comfortable” untuk beraktivitas, tentu kita harus menggantinya dengan kata dan ungkapan yang jauh lebih sederhana. Contoh-contoh gambar project, majalah dan contoh berbagai bola lampu yang dinyalakan juga akan membantu mereka untuk lebih tertarik kepada sesuatu yang disebut lighting.
Hal lain yang menjadi catatan adalah tentang penguasaan kelas. Entah kenapa secara pribadi saya merasa lebih bisa “menguasai” adik-adik kelas 1. Walaupun suara yang saya keluarkan harus extra lantang, tapi lebih mudah untuk mengembalikan perhatian mereka. Sedangkan untuk kelas 4 dan 6, saya merasa lebih tertantang mendapatkan perhatian mereka kembali jika salah satu atau beberapa kelompok mulai terpecah konsentrasinya. Maka di akhir hari itu terbayang rasa sedih-haru teringat masa SD dulu. Ingin rasanya datang dan ‘salim’ ke guru-guru satu persatu karena siang itu terbit hebat rasa salute saya pada mereka.
Ketika saya tanya di pagi hari “Siapa yang cita-citanya pengen jadi lighting designer?” – tidak ada yang menjawab, tapi begitu di akhir kelas saya tanya lagi – hampir semua anak mengangkat tangannya. Ah senang sekali rasanya. Saya yakin dengan cara berkomunikasi yang tepat dan semangat membara dari si pembawa ide maka hal-hal baik tersebut akan terus tersebar luas.
[2]
Kota yang baik datang dari masyarakat yang baik
Kelompok-kelompok kecil itu bergantian memanggil saya, bertanya bagaimana cara menggambar rumah, kantor atau mobil. Salah satu kelompok menemukan cara lain untuk menggambarkan kotanya, yaitu dengan menulis “Rumah Ayu, Gedung Yudis, Perpustakaan Dimas, Mobil Yudis, Hotel Aril”. Ketika kelas 2-5 ditanya dimana rumah impian masa depan, semua menjawab serempak, “di tamaaannn!”
Maket tugas akhir yang saya bawa terus membuat seisi kelas berjalan hilir-mudik ke depan, menyentuh-nyetuh pohon, mobil-mobil kecil berskala 1:500 dan mengetok-ketok bangunan yang terbuat dari greyboard.
Gambar-gambar yang saya bawa tentang jalan raya, jalan tol, sungai membuat beberapa anak mengitari saya dan menutupi teman-teman lainnya yang masih duduk di kursi.
Ketika pulang, ada seorang anak mendekat menghampiri saya, Subur namanya, “kak, besok datang lagi yaa, bawa lego rumah yang banyakk” Lalu berlari lagi menjauh. Tiara, temannya yang lain menjabat tangan saya, “kak, peta kota yang tadi aku udah copot terus aku jadiin satu sama yang lain, jadi kotanya lengkap, nanti diisi lagi yaa” dia tersenyum bangga sambil menatap mata saya mencari sebuah janji.
Sepotong kenangan menjadi satu, sedikit kekhawatiran tentang pelajaran hari ini terus menghantui, “apakah anak-anak mengerti? apakah mereka tahu profesi arsitek kota? apa mereka tahu apa yang saya lakukan? apakah saya membawa inspirasi untuk mereka?” Tapi sebuah kalimat pada saat briefing menyadarkan saya, “hadir dan menitipkan pesan, semudah dan sesederhana itu saja”.
Jangan bertanya tentang pesan saya, pesan saya tidak puitis dan berirama, hanya pesan-pesan pendek tentang berperilaku dikota. Seperti slogan-slogan papan nasehat yang dapat ditemui di tengahkota, “jangan mencoret-coret tembok, jangan duduk diatas kawat pembatas tanaman, jangan naik di atap kereta api, jangan menyebrang sembarangan”. Sebuah pesan-pesan singkat mengenai berperilaku baik dikota. Satu hal yang tidak saya pesankan hanya satu, karena anak-anak itu ternyata sudah sangat hafal tentang pesan, “dilarang buang sampah sembarangan”. 🙂
The city is the people – Shakespeare
[3]
Kisah Sang Arsitek Cilik.
Beberapa anak kecil sedang asyik bergerombol berjumlah 11-13 orang, sibuk berdiskusi. Salah satu anak mengambil inisiatif untuk memimpin gerombolan tersebut, tidak jauh dari meja meja yang tidak teratur berantakan beberapa kumpulan juga tampak membentuk lingkaran kecil dan ada satu lagi berada di sudut lain. Dengan kepala menunduk, sesekali beberapa anak dari tampak mengintip kecil ke kumpulan lain. Mereka tampak serius, terkadang ada saja yang keluar dari kumpulan, berguling guling di lantai atau naik ke atas meja, kemudian kembali lagi. Bahkan dalam beberapa waktu salah satu anak melakukan gerakan kayang di depan. Tetapi dalam waktu 20 menit, walaupun dari sunyi, kemudian ricuh, kembali tenang, mereka berhasil membuat kota!
Anak anak kelas 3 SD ini baru saja workshop singkat membuatkotadiatas kertas A2 dengan mainan lego. Seorang ketua kelompok yang mengajukan dirinya sendiri, mencatat 15 bangunan yang ada di sekitar dan di kenal mereka, seperti gedung sekolah, rumah, rumah sakit, kantor polisi dan lain sebagainya, kemudian membagi ke anggota kelompok masing masing, untuk mendapat kebebasan merancang bangunan dari lego dan meletakkan diatas kertas bergambar kota yang masih kosong.
20 menit pertama, adalah pekerjaan terberat sekaligus menantang, yaitu bagaimana mengenalkan profesi kami ke anak-anak SD ini. Dari seorang bankir, analis program tv swasta, satgas pemberantasan mafia hukum, creative director, pemilik perusahaan, CEO, sustainable advisor, perancang kota, pemilik kafe, staff IT hingga profesi saya, seorang Arsitek memiliki masalah yang sama. Arsitek dan beberapa profesi yang telah disebut, bagi mereka adalah kata yang asing, bahkan baru bagi perbendaharaan kata mereka.
Beginilah kira-kira penjelasan sederhana tentang seorang arsitek untuk teman teman di SD.
“Saya adalah arsitek,
Arsitek adalah orang yang merancang bangunan dan membangunnya sehingga bisa digunakan oleh orang lain secara nyaman dan bisa memberikan lingkungan yang lebih baik.
Kami bekerja tidak sekedar menggambar, tetapi mendengarkan mimpi, menuangkan harapan orang lain, dan membuatnya nyata melalui proses menjadi bangunan yang bertahan lama.
Tempat dimana kalian duduk sekarang, kota kita, lihatlah keluar jendela, mesjid, gedung hotel itu, rumah itu, pasar, tempat kalian bermain, rumah sakit, adalah hasil kerja arsitek dan timnya. Kami bermimpi bersama dan membuatnya terbangun.
Monas, Museum gajah, masjid istiqlal, gereja katedral, stadion bung karno, candi borobudur, dari pyramid di Mesir hingga menara Eiffel di paris, kami merancang dan membuatnya nyata dan bertahan hingga saat ini. Kota kita di isi dan dibentuk oleh arsitek.
Arsitek menurut arsitek terkenal Frank Lloyd Wright adalah sekaligus penyair dan peramal, penyair yang menadakan jamannya dan menjawab masa depan melalui rancangannya.
Dan kamu, kamu, kamu, kita adalah seorang arsitek untuk masa depan kita.”
Dari kelas 1 hingga 6 SD, semua memiliki keunikan masing masing, karakter yang berbeda pada tiap kelas. Pemahaman yang anak anak ketahui pun berbeda satu sama lain. Pengenalan profesi pun perlu di bedakan di masing masing kelas, berbeda halnya antara kelas 5 dengan kelas 1 dan itu semua perlu di dukung dengan kesabaran yang tinggi dan metode yang kreatif. Bila anda mengatakan mengajar di kelas kelas SD itu mudah, anda harus mencobanya! “menyenangkan, menginspirasi, tapi juga melelahkan” begitulah rekan kelas inspirasi saya, Michael Putrawenas, bertutur setelah setengah hari di sekolah. Kami para professional, angkat topi untuk guru-guru kelas dasar ini, karena mereka lah yang menentukan masa depan senyum-senyum dan keluguan anak anak ini.
“Pak, bapak!” seorang murid SDN Petojo Selatan 01 menarik narik baju saya ketika pulang setelah menerbangkan balon cita-cita mereka, “bapak saya hanya pemungut sampah, bisa ngga saya jadi arsitek?”. “Bisa, bekerja keraslah!” sahutku, kemudian ia berlari malu sambil menjawab “besok ngajar lagi yaaa!!”
[4]
Kelas Inspirasi, begitulah gerakan ini dinamakan, sebuah gerakan yang dibentuk oleh Anies Baswedan dan Tim nya, yang bertujuan memberikan inspirasi melalui berbagi pengalaman dari masing masing pekerja professional di bidang profesi nya masing masing kepada generasi muda yang masih di sekolah dasar, sehingga generasi ini memiliki mimpi, cita-cita, menjadi tujuan hidup mereka dan bekerja keras untuk meraih kedepannya.
Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 250 juta, adalah pilihan, pilihan untuk membiarkannya sekadar terus berkembang menjadi jumlah penduduk terbanyak di dunia, atau sebagai potensi, potensi penduduk sebagai pekerja, sebagai motor perbaikan bangsa, sebagai jembatan kekuatan baru, sebuah jembatan yang bisa dilakukan melalui pendidikan.
Saya dan teman teman yang kini telah bekerja dan terlibat di kelas inspirasi merasa bahwa kelas menengah adalah sebuah pencapaian, adalah hasil pekerjaan berat di masa lalu, adalah hasil pendidikan yang ditanamkan pada generasi sebelumnya
Hari ini, dalam pekerjaan kita, adalah saatnya kita berbagi kembali, kepada mereka yang masih membutuhkannya. Kita yang telah menikmati pendidikan dasar 9 tahun, mengalami tingkat lanjut dan mendapatkan kesempatan perguruan tinggi dan menikmati hasil melalui pekerjaan kita sekarang. Hari ini bukan saatnya mengeluh dan mengecam dengan kondisi kekurangan negara kita. Kita bisa, berbuat sesuatu, sedikit dikitnya adalah berbagi waktu kita, melalui berbagi pengalaman profesi, sebuah mimpi bagi mereka, teman teman muda. Mimpi yang telah nyata, yang telah kita capai untuk berada di dalamnya, dan inilah saatnya kita membagi cara dan jalan menuju mimpi tersebut. Kita adalah bukti.
“Pendidikan bukan sekadar “program”, Pendidikan harus menjadi gerakan sosial. Semua terlibat, semua ambil tanggung jawab…. biarkan anak anak bermimpi tinggi melampaui gurunya”, ujar Anies Baswedan membuka kelas inspirasi.
Biarkan mereka melampaui kita saat ini. Menjadi arsitek untuk masa depannya.
Kameraaaaa, lampuuuuuu, Actioonnnn!
Paskalis Khrisno Ayodyantoro (arsitek), Putri Kusumawardhani (urban designer), Tamara Ismiyarti Palupi (lighting designer)