Catatan kecil Arsitektur Naungan

Untuk menciptakan inovasi(berbeda-lebih baik) dalam arsitektur, tentu kita perlu melihat bagaimana lingkungan dan iklim yang ada sebagai kondisi yang perlu diperhatikan pertama kali. Menciptakan sesuatu yang berbeda perlu juga menelusuri bagaimana sejarah manusia menyesuaikan tubuhnya dengan lingkungan tersebut, memodifikasinya, menciptakan inovasi pertamanya demi kenyamanan tubuhnya.

 

Dengan menyusuri bagaimana tubuh menyesuaikan dengan lingkungan ini, maka kita akan melihat sejarah manusia memulai membentuk arsitekturnya. Manusia pertama mencoba menyesuaikan lingkungan dengan tubuhnya yang di tutup dengan bahan yang ada di alam untuk mencoba mengatur suhu. Manusia kemudian mencoba menggunakan kondisi alam yang telah ada untuk berlindung dari kondisi lingkungan yang tidak di inginkannya. Tak cukup dengan kondisi alam yang telah ada, manusia kemudian memodifikasi bahan-bahan, menciptakan sesuatu menjadi ruang bagi tubuhnya untuk berlindung.

 

Indonesia, dengan dominasi iklim tropis basah, yang bersuhu rata-rata 25-32 derajat celcius sepanjang tahun, tentunya tidak menjadikan suhu menjadi persoalan hidup dan mati. Iklim ini menjadikan Manusia Indonesia membutuhkan sesuatu lebih dari sekedar peneduh bagi tubuhnya dari hujan dan terik matahari yang tak nyaman. Sebuah Naungan.

 

Bioclimatic Analysis in Pre-Design Stage of Passive House in Indonesia by Santy, Hiroshi Matsumoto, Kazuyo Tsuzuki and Lusi Susanti
Bioclimatic Analysis in Pre-Design Stage of Passive House in Indonesia by Santy, Hiroshi Matsumoto, Kazuyo Tsuzuki and Lusi Susanti

 

Arsitektur naungan muncul sebagai jawaban atas kondisi iklim tropis. Arsitektur yang berusaha mengatasi terik matahari, kelembapan, dan curah hujan ini kemudian berkembang sesuai teknologi, bahan dan fungsinya.

 

Mintakat, sempadan dan naungan adalah elemen dasar yang saya jadikan elemen dominan pembentuk arsitektur naungan lewat pengalaman-pengalaman praktis ketika saya mendesain. Saya mencoba melihat dan memikirkan kembali intuisi awal manusia menyesuaikan tubuh terhadap iklim tropis dan ketersediaan material membentuk elemen-elemen dasar ini kemudian menjadikan intuisi tersebut sebagai titik awal spekulasi desain.

 

Saya membayangkan ketika masing-masing elemen ini di gabung dengan metode/teknologi manusia merangkai bahan dan menambahkan pengetahuan subyektifnya membuat arsitektur naungan menjadi sebuah titik awal yang tak terbatas. Dengan awal tak terbatas ini bayangkan hasil keragaman cara manusia bisa tinggal, dan kemungkinan tak terbatas arsitektur dapat dibuat. Arsitektur naungan bagi saya menghasilkan spekulasi yang rasanya cukup menjanjikan.

 

Tentang Mintakat, mari kita coba bayangkan tentang musik. Jika setiap nada dimainkan dengan jeda yang sama, kita tidak akan mendengarkan sebuah musik. kita akan dapatkan sekedar suara. Musik akan di dapatkan ketika suara dikontraskan dengan diam. Meragamkan motif suara dan diam menciptakan melodi. Tanpa diam, tidak akan ada musik.

Seperti musik, pengaturan ruang positif-negatif, memiliki fungsi yang sama, merangsang melodi namun secara inderawi. Ruang terbuka/negatif memberikan ruang-ruang positif untuk bernafas. Ruang positif bisa di nikmati lebih indah ketika kontras dengan negatifnya dan bahkan sebaliknya juga.

 

Pengaturan ruang positif/negatif ini kemudian dapat berhubungan dengan kualitas, kesederhanaan, kebersihan, kemewahan, keheningan, dan keterbukaan.

 

sempadan dan naungan saling berhubungan karena masing masing elemen berusaha menjadi batas. Bagaimana kita menentukan sisi yg menjadi perhinggaan suatu tempat (ruang, area, daerah, dan sebagainya) melalui ketentuan yg tidak boleh dilampaui. Mengartikan ulang tentang sempadan dan naungan dalam arsitektur naungan, menjadi penting untuk menentukan cairnya dan sifat ketembusan masing-masing mintakat sebagai sikap terhadap bayang dan aliran udara juga dalam hubungannya dengan sifat privat dan publik.

 

Menurut saya, arsitektur, adalah puisi tentang pengaturan fungsi dalam ruang-ruang positif dan negatif dengan definisi sempadan dan naungan yang kita tetapkan. Puisi yang diciptakan secara intuitif lewat gabungan pengetahuan obyektif dan subyektif seperti pengalaman, perhitungan, keilmuan, teori, idiom, pemahaman, redefinsi, interpretasi ulang, bahkan mimikri dengan alam.

 

Dalam sejarahnya, manusia berusaha menyusun hingga memodifikasi bahan-bahan di alam agar bisa digunakan sebagai ruang pelindung dan peneduh yang nyaman untuk tubuhnya. Setiap bahan alam memiliki karakternya sendiri dan proses membangun ini kemudian menjadi proses penting dalam menghasilkan arsitektur. Lalu bagaimana merangkai sebuah arsitektur naungan sebagai puisi yang baik di Indonesia?

 

Saya mencoba mengumpulkan metode lewat pengalaman konstruksi dan melihat ada beberapa kemungkinan metode yang bisa digunakan sebagai acuan membentuk elemen-elemen arsitektur naungan dengan bahan yang ada. 7 Metode menurut saya dengan menambahkan dari Semper, adalah : tumpuk, pasak, ikat, rajut, tempel, lebur dan gali. Masing-masing metode untuk membentuk ketiga elemen arsitektur naungan ini kemudian digabungkan dengan pengetahuan subyektif atau kreatifitas perancangnya sehingga menciptakan kemungkinan yang luas.

 

Pertanyaannya berikutnya, ketika manusia awal memulai membangun elemen-elemen arsitektur naungan, langkah pertama atau kreatifitas apa yang dapat menjadikannya sebagai arsitektur yang baik? Lewat perjalanan-perjalanan di Indonesia salah satu contohnya, saya menemukan inspirasi-inspirasi dari bentuk-bentuk alam dan sekitarnya yang bisa digunakan sebagai daya kreatif memperkaya melodi elemen arsitektur naungan yang kita desain. Bagaimanapun, bentuk alam yang terjadi di Indonesia juga merupakan adaptasi alam terhadap kondisi lingkungan termasuk iklim.

 

Seperti musik, yang sudah saya sebutkan diatas, pengaturan mintakat/ruang positif-negatif secara kreatif, merangsang komposisi melodi secara inderawi menjadi lebih kaya. Inspirasi-inspirasi dari sekitar kita di Indonesia bisa digunakan untuk mendefinisikan kembali ketika manusia awal berinovasi, arsitekturnya pertama kali. Apakah hasilnya saat ini adalah sebuah Inovasi? tentu itu lain soal, tapi kemungkinan hasil arsitektur yang lebih luas, membuatnya proses yang menjanjikan.

 

Gua, Sarang di cabang pohon, Hutan, ranting ranting, terasering jatiluwih, kubur batu sumba, kebun teh, candi borobudur, awan (batik cirebon), sel, sarang semut, Sarang lebah, tatar, rumah bali dan lain sebagainya adalah inspirasi tak habis-habisnya untuk kreatifitas.

 

Paskalis Khrisno Ayodyantoro

 

pola-naungan

Catatan ini adalah tambahan dari tulisan Arsitektur Naungan sebelumnya

About the author