Arsitektur Vernakular Indonesia untuk Zaman Ini

Seorang bapak dengan cekatan meman­jat kayu-kayu yang sudah ter­pasang rapi dan tinggi. Setelah sam­pai di atas, ia menyusun terakota-terakota satu per­satu di antara kayu-kayu kecil agar ter­sang­kut dengan baik. Saat ini ham­pir seluruh lem­peng ter­akota menutupi seluruh kayu. Bapak itu menyahut dari atas, “Mas, ini namanya wuwungan. Utamanya mesti ada tiga.Sama seperti pintu, juga perlu ada tiga. Ben­tuk­nya meleng­kung, biar yang punya rumah punya kep­ribadian yang luwes!”
 
Si bapak ter­nyata adalah seorang pekerja bangunan yang sedang menyelesaikan penutup atap rumah khas Joglo Jepara. Ia sedang meletakkan penutup paling pun­cak atap dengan meng­gunakan keramik ber­ben­tuk setengah silin­der dengan ukiran di pung­gung­nya. Ia men­jelaskan perlu ada wuwungan atau bubungan atap agar keluarga hidup har­monis. Pen­jelasan si bapak ten­tang kehar­monisan itu mungkin mengacu pada pemahaman seperti ini: kalau tidak ada wuwungan, istri akan mudah marah ke suami karena atap rumah­nya bocor. Keluarga jus­tru sibuk membenahi atap yang bocor diban­dingkan hal-hal pen­ting dalam kehidupan berkeluarga.
 
Namun pada hakikat­nya, simbol-simbol itu sebenarnya adalah cara bagaimana masyarakat tradisi melan­jutkan pengetahuan mem­bangun rumah lewat cerita turun-temurun dengan menyesuaikan zaman.
 
……
 
Tidak semua detail arsitek­tur ver­nakular(tradisi) Indonesia sekedar merupakan per­ayaan atas simbol-simbol keper­cayaan. Simbol-simbol keper­cayaan ini bisa jadi tim­bul atas proses pen­ceritaan dari generasi ke generasi yang di bubuhi budaya yang ber­laku atau penyim­pangan bahasa pada saat pen­ceritaan itu dilakukan. Tujuan penam­bahan cerita-cerita itu salah satunya adalah usaha untuk mem­per­tahankan dan mem­buat­nya menarik proses ter­sebut agar tetap dipakai ke generasi selan­jut­nya. Padahal sejatinya di balik mitos ter­sebut, ter­dapat logika pengetahuan kon­struksi yang hebat.
 
Arsitek­tur ver­nakular di Indonesia dari Sabang sam­pai Merauke ham­pir memiliki kesamaan proses kon­struksi. Dimulai dari pen­carian bahan yang ada di sekitar lokasi, kemudian proses mem­bawa bahan ke lokasi, pem­buatan pon­dasi, kon­truksi utama (biasanya ber­kisar pada atap) di lanjutkan dengan proses penutupan bangunan. Setelah itu, proses masuk rumah atau awal peng­gunaan rumah.
 
Salah satu proses pengam­bilan bahan yang menarik ada di Desa Ngata Toro, Sulawesi Tengah. Warga desa Ngata Toroselalu melakukan upacara khusus untuk ‘meminta ijin’ penebangan pohon. Awalnya, mereka akan memilih kayu-kayu besar yang diameternya telah mencapai 60–80 cm. Setelah itu, upacara pemotongan hewan dilakukan sebelum warga menancapkan kapak sebagai simbol ‘permintaan ijin’ kepada sang pohon. Seminggu kemudian setelah kapak ditancapkan, para pen­cari bahan akan kembali dan melihat apakah kapak masih menan­cap atau tidak. Apabila kapak tersebut masih menempel di pohon, maka berarti sang pohon telah “meng­ijinkan” untuk di tebang. Menurut saya, penan­capan kapak ini menunjukkan cara masyarakat tradisio­nal meng­etes kekuatan kayu tersebut; sudah cukup keras atau belum.
 
Kesulitan ter­besar dalam arsitek­tur di Indonesia adalah curah hujan yang tinggi pada musim hujan. Dengan bahan kayu atau tanah yang ada di ling­kungan sekitar­nya, men­jawab dengan bangunan yang tahan bocor adalah yang ter­pen­ting. Hal itu bisa dilihat dari sebagian besar arsitektur vernakular di Indonesia yang menggunakan konstruksi rumit kayu pada struktur atapnya. Pada kondisi ini, atap men­jadi ben­tuk yang dominan.
 
Dalam pengerjaannya, masyarakat tradisional berusaha meng­gunakan pengetahuan agar bangunan dapat ber­diri dan mewadahi kegiatan di bawahnya. Salah satunya dalam mengatasi permasalahan keterbatasan bahan. Rumah ting­gal di desa adat Panglipuran, Bali adalah salah satu con­toh menarik bagaimana bahan bambu bisa digunakan secara mak­simal, karena pada dasarnya desa tersebut di kelilingi oleh hutan bambu yang melim­pah. Dalam membangun rumah, warga Desa Adat Panglipuran memulai dengan bagian dapur. Disana, dapur seluruh­nya meng­gunakan struk­tur dari bahan bambu. Dapur sen­diri dibangun pertama kali sebagai tempat penting untuk mengolah dan menyimpan makanan. Dapur dengan sumber api dan asap di dalamnya turut membantu proses pengawetan konstruksi bambu. Tak hanya di Desa Adat Panglipuran saja, desa-desa di Sumba, Nias, Toba dan Flores juga menggantungkan proses pengasapan yang sama dari dapur dan menjadikan dapur sebagai pusat rumah.
 
Memang, di Desa panglipuran kon­struksi yang paling rumit adalah kon­struksi atap. Dari tiang-tiang utama, reng-reng hingga penutup, atap meng­gunakan bahan bambu. Dengan curah hujan yang tinggi di Indonesia, masalah utamanya adalah untuk meng­hin­dari kebocoran di penutup atap.Untuk mengatasinya, bilah-bilah bambu dipotong 50–60 cm meng­ikuti buku-bukunya dan dipasang saling menum­puk. Dari seluruh proses kon­struksi atap, yang paling sulit adalah di ujung ter­itisan dan pun­cak atap. Karena keren­tanan bocor ini, maka detail-detail tam­bahan diperlukan. Pada pun­cak, nok akan dibuat dari bambu tumpuk-menumpuk agar air tidak mudah masuk; juga pada per­temuan sudut atau sam­bungan karena keter­batasan bahan. Pada pertemuan-pertemuan yang sulit dan rumit, tukang kemudian menan­dakan peker­jaanya dengan per­ayaan detail yang ter­kadang subyek­tif dengan sim­bol. Sim­bol dan per­ayaan detail ini juga dapat kita temukan di puncak-puncak atap Mbaru Niang di Waerebo yang penuh dengan ijuk dan nok-nok Joglo Jepara dari terakota. Puncak-puncak atap tersebut di desain sedemikian rupa untuk memecahkan masalah bocor di sam­bungan yang kritis.
 

Detail penutup atap di Rumah Adat Penglipuran, Bali.Di foto ini terlihat detail-detail kritis di per­temuan sam­bungan yang rentan bocor ditutup dengan tum­pukan bambu dan di pasak ver­tikal.Pasak ini kemudian ‘dirayakan’ dengan sim­bol pemilik rumah.
Detail penutup atap di Rumah Adat Penglipuran, Bali.Di foto ini terlihat detail-detail kritis di per­temuan sam­bungan yang rentan bocor ditutup dengan tum­pukan bambu dan di pasak ver­tikal.Pasak ini kemudian ‘dirayakan’ dengan sim­bol pemilik rumah.

 

Detail ujung atap di Waerebo, Mang­garai, Flores. Atap yang kritis diper­lakukan ber­beda dengan penggunaan ijuk sebagai material yang ter­sedia di sekitar kam­pung.
Detail ujung atap di Waerebo, Mang­garai, Flores. Atap yang kritis diper­lakukan ber­beda dengan penggunaan ijuk sebagai material yang ter­sedia di sekitar kam­pung.

 
Sama hal­nya dengan kon­struksi arsitek­tur ver­nakular di beberapa tem­pat di Indonesia. Karo Kawimbi di Pulau Sumba, Mbaru Niang di Flores, Omo Sebua di Nias, hingga Honai di Papua memiliki kesamaan dalam penggunaan kon­struksi rumit kayu untuk mem­buat atap besar dan meng­hin­dari curah hujan besar secepat-cepatnya ketanah. Dinding-dinding yang tidak men­jadi bagian dari struk­tur atap, pada umum­nya akhir­nya men­jadi elemen privasi yang ter­kadang sekun­der atau tidak utama.
 
……
 
Upacara-upacara di proses kon­struksi arsitek­tur ver­nakular sering­kali men­jadi sebuah mitos yang sering dilakukan seba­gai ritual meng­hor­mati leluhur. Ketika kita pahami lebih dalam lagi, upacara ini menunjukkan bagaimana masyarakat adat men­coba mem­buat pola manajemen manusia dan bahannya.
 
Setiap pem­bangunan Uma Karo Kawimbi atau sebutan bagi rumah-rumah adat di Sumba Barat Daya, pasti akan ada upacara pemotongan hewan. Kepala tukang, yang biasanya dari desa tetangga, akan mewajibkan upacara “tikam” atau pemotongan hewan besar-besaran agar rumah ini diterima oleh leluhur sesuai dengan adat Marapu. Tidak tanggung-tanggung, setiap upacara, dari keluarga dekat hingga keluarga jauh mem­berikan sum­bangan babi hingga kerbau ter­baik untuk dipotong. Kalau kita coba cer­mati, upacara ini adalah usaha bagaimana tradisi gotong royong dapat ber­jalan di masyarakat secara adil.
 

Salah satu con­toh upacara penerimaan tamu yang mem­bawa hewan kurban untuk disum­bangkan dalam pem­buatan rumah adat di Rateng­garo, Sumba Barat Daya
Salah satu con­toh upacara penerimaan tamu yang mem­bawa hewan kurban untuk disum­bangkan dalam pem­buatan rumah adat di Rateng­garo, Sumba Barat Daya

 
Pada masa lam­pau, masyarakat belum meng­enal uang. Pem­bangunan rumah yang begitu besar dan rumit mem­butuhkan banyak orang. Makaitu, diperlukan manajemen ketukangan untuk melakukan satu proses kon­struksi. Upacara men­jadi bentuk manajemen setiap orang dalam satu komunitas untuk men­dapat peker­jaanya masing-masing. Setelah ada pem­bagian peker­jaan, maka perlu ada pem­berian upah pada orang-orang yang telah bekerja. Upacara pemotongan hewan secara besar-besaran bukan sekedar per­ayaan untuk para leluhur, tetapi juga bagaimana komunitas diminta untuk ikut andil mem­bantu tanpa men­jadi tukang. Di upacara tersebut, komunitas diharapkan untuk mem­bagi hasil ter­nak­nya seba­gai upah untuk para tukang yang bekerja.
 
Pada desa adat seperti di Desa Ngata Toro, Sulawesi Tengah, biasanya akan ada per­aturan ten­tang penataan ruang adat. Penataan ruang ini pen­ting karena men­jadi satu model con­toh bagaimana ruang ting­gal manusia diatur seim­bang dengan ling­kungan­nya. Ruang ting­gal diatur di antara tem­pat ber­cocok tanam atau tem­pat sum­ber makanan dengan hutan adat. Hutan adat ini men­jadi pen­ting, karena salah satu fung­sinya men­jadi sum­ber dari bahan kon­struksi bangunan-bangunan di desa. Biasanya, hutan-hutan adat ini men­jadi tem­pat yang disucikan agar tidak digunakan secara sem­barangan.
 
Dalam manajemen penataan ruang desa adat, masyarakat tradisi juga harus mengatur penggunaan bahan. Caranya dengan memikirkan kapan bahan dapat diambil dan bagaimana agar keter­sediaan bahan dapat terus ter­jaga. Selain itu, perlu ada pengaturan juga proses penanaman kem­bali bahan yang sudah diam­bil dari hutan. Penataan ruang desa adat ini bisa kita jum­pai seperti di Desa Ngata Toro (Sulawesi Tengah), Desa Badui Dalam (Banten), hingga di Desa Penglipuran (Bali).
 
Tak ber­henti pada penataan ruang, masyarakat tradisi juga memiliki pengetahuan bahan kon­struksi yang sangat baik. Di beberapa bangunan adat, jenis-jenis kayu men­dapat per­lakuan dan penem­patan yang ber­beda sesuai dengan karak­teris­tik keawetan dan sifat keras­nya. Setiap elemen kon­struksi memiliki nama dan jenis kayu yang sesuai dengan fungsi dan kebutuhan dikon­struksi. Kayu yang paling keras dan sulit diperoleh akan men­dapat peng­hor­matan seba­gai struk­tur utama seperti kayu kedim­bil di Sumba dan kayu worok di Flores. Kayu-kayu yang kita kenal sekelas kayu ulin ini men­dapatkan porsi seba­gai struk­tur rangka utama, sedangkan kayu-kayu lain seperti damar atau kam­per men­jadi elemen pengisi lan­tai atau din­ding pem­batas interior. Pemahaman dan tek­nologi alat ketukangan juga ber­pengaruh dalamkonstruksimen­jadi satu bangunan. Keter­batasan alat ketukangan dan bahan jus­tru mem­per­kaya detail atau sam­bungan sehingga meng­hasilkan metode kon­struksi tum­puk, ikat hingga pasak.
 

Detail Rumah Adat Waerebo, dimana masing-masing kon­struksi memiliki bahan kayu ber­beda sesuai dengan karak­ter dan sifat kayu. Gam­bar oleh Faiz Sup­rahman — dok.Rumah Asuh
Detail Rumah Adat Waerebo, dimana masing-masing kon­struksi memiliki bahan kayu ber­beda sesuai dengan karak­ter dan sifat kayu. Gam­bar oleh Faiz Sup­rahman — dok.Rumah Asuh

 

Gam­bar detail Karo Kawimbi di Sumba. Iniadalah gam­bar lain yang menerangkan masing-masing elemen struk­tur dengan kayu yang sesuai dengan sifat dan karak­ternya. Gam­bar oleh Resha Kham­bali — dok.Rumah Asuh
Gam­bar detail Karo Kawimbi di Sumba. Iniadalah gam­bar lain yang menerangkan masing-masing elemen struk­tur dengan kayu yang sesuai dengan sifat dan karak­ternya. Gam­bar oleh Resha Kham­bali — dok.Rumah Asuh

 
……
 
Sim­bol seiring zaman dan turun-temurun ke generasi selan­jut­nya memiliki arti yang bisa bias — yang ter­kadang dikaitkan dengan keper­cayaan. Selain ber­potensi bias karena disesuaikan dengan keper­cayaan dan penyimpangan bahasa pada waktu tertentu, proses tran­sfer ilmu ini juga acap­kali men­jadi norma atau per­aturan yang menakutkan bagi generasi penerusnya.
 
Pengetahuan tradisi arsitek­tur ver­nakular Indonesia perlu dik­ritisi sehingga ber­ba­gai ben­tuk salah per­sepsi dapat dihin­darkan. Kita juga perlu mem­bagi kritik ini secara luas seba­gai pen­didikan ke masyarakat kita, daripada kita sibuk ber­kutat pada “meniscayakan (sekedar) tam­pilan yang meng-Indonesia”, yang sering­kali ter­jebak dalam politik identitas.
 
Arsitek­tur ver­nakular Indonesia sangat ber­potensi seba­gai sum­ber ins­pirasi arsitek­tur pada masa kini. Arsitek­tur ver­nakular Indonesia men­jadi pengetahuan ber­gizi yang siap di lan­jutkan dalam meng­adap­tasi gaya hidup zaman dan fungsi yang ber­ubah hingga keter­sediaan dan tek­nologi bahan serta alat ketukangan­nya yang semakin ber­kem­bang. Salah satu con­toh­ inspirasi adalah manajemen ruang adat; hutan-ladang-hunian. Manajemen tersebut melingkupi pengetahuan bahan tentang apa, dimana, kapan, siapa dan bagaimana bahan dapat digunakan secara tepat guna. Di Indonesia, dengan potensi sumber kayu yang beragam, Tradisi arsitektur vernakular mengajarkan bahan konstruksi Kayu yang di pakai bisa ber­tahan dan memiliki kesamaan umur ekologi dengan bahan yang ter­sedia di ling­kungan sekitar­nya. Tradisi manajemen ruang adat memas­tikan keber­lan­jutan keter­sediaan bahan untuk dipakai seba­gai kon­struksi bangunan. Arsitek­tur ver­nakular di Indonesia juga ins­pirasi bagaimana detail-detail dengan bahan konstruksi dari sekitar kita, bisa dibuat dengan obyek­tif dan logis dengan bubuhan subyek­tif­ tanpa harus ter­jebak pada per­mainan sim­bol semata. [VF]
 
Paskalis Khrisno Ayodyantoro
 

About the author