1
Angin dingin menusuk tulang saat ini. Jam menunjukkan pukul 05:00 pagi, adzan subuh belum berkumandang. Masih satu jam lagi, karena matahari terbit pada musim dingin berlangsung pada pukul 07:00. Febuari akhir, walaupun seharusnya masih musim dingin, namun matahari mulai menampakkan dirinya dalam hari-hari ini. Pagi ini suhu berkisar di 14 derajat celcius, jaket tebal rasanya sudah cukup menyelimuti tubuh kami, para pelancong asal negeri tropis yang bersiap menjelajahi kota menanti matahari terbit. Sambil berjalan, seringkali kambing-kambing agresif ditemukan menjajak pada batas-batas tipis di sekitar perbukitan atau pinggir bangunan terjal ingin menyeruduk. Mungkin begitulah nama kota ini berasal; “Awas ada kambing!” sebagai asal kata Chefchaouen dari bahasa suku setempat.
Peradaban seringkali dibangun lewat jutaan kematian.
Begitupun kota Chefchaouen. Kota Chefchaouen dibangun pada tahun abad 14 oleh Moulay Ali Ben Moussa Ben Rached El Alami dengan bentuk benteng kecil berwarna merah untuk melindungi serangan dari Portugis pada masa tersebut. Dari benteng kemudian berkembang menjadi sebuah permukiman diluarnya yang dihuni suku-suku lokal, Orang Moor dari Spanyol hingga orang-orang Yahudi.
Perle bleue atau mutiara biru adalah sebutan dari kota Chefchaouen. Sepanjang jalan kota kecil ini di selimuti warna biru. Lantai, bangunan, dan dinding di dominasi warna biru. Koridor-koridor kecil yang menyeruak di permukiman berbukit menjadi tantangan sendiri agar tidak tersesat.
Banyak penduduk lokal beranggapan, warna biru di perkenalkan ke permukiman oleh orang Yahudi. Orang Yahudi banyak berdatangan dari Eropa untuk melarikan diri Ketika Perang Dunia kedua. Orang Yahudi memiliki tradisi mengecat beberapa bagian rumah mereka dengan biru, sebagai simbol keilahian yang terinspirasi dari warna langit dan laut. Warna Biru yang di gunakan oleh penduduk yahudi, kemudian di gunakan oleh penduduk lokal dengan berbagai alasan. Penduduk Yahudi selanjutnya banyak meninggalkan kota ini tahun 1940-1950 an. Beberapa alasan penduduk lokal melanjutkan menggunakan warna biru adalah untuk keindahan, membuat warna lebih cerah, menghindarkan dari nyamuk, hingga alasan menarik turisme.
Walaupun jetlag menyerang parah setelah hampir 25 jam berada di perjalanan, seharusnya pesawat 787 dreamliner milik Etihad dari Abu Dhabi ke Casablanca 1 hari lalu, bisa meredakan jetlag. Menuju Chefchaouen adalah perjalanan Panjang dari Jakarta. 8,5 jam dari Jakarta ke Abu Dhabi dengan pesawat, transit 4 jam di Abu dhabi, kemudian 8,5 jam lagi dari Abu Dhabi ke Casablanca. Casablanca ke Chefchaouen menggunakan bis selama 5 jam.
Beruntung malam di Chefchaouen kami menikmati hidangan lokal di Café Clock. Café Clock sendiri adalah bangunan 5 lantai dengan tapak 4×5 meter di antara labirin biru kota Chefchaoun. Couscous Bouhaloo adalah hidangan terbaik malam ini disamping burger dengan daging unta. Couscous Bouhaloo adalah sepotong ayam panggang besar di masak dengan bawang Bombay dicampur kismis dengan kuah karamel yang hitam lengket yang menyelimutinya diatas kuskus. Setelah makan malam besar yang manis, hidangan di tutup dengan sebuah affogato dan pudding kurma.
Bon appetite!
2
Chefchaouen adalah salah satu destinasi perjalanan kantor Han Awal tahun 2020 menggantikan tahun 2019 yang berlalu diterpa pekerjaan super padat. Chefchaouen berada di utara negara Maroko. Negara Maroko sendiri merupakan negara kerajaan berada di bagian timur-utara Benua Afrika. Negeri dengan perpaduan budaya yang seksi antara Afrika, Asia dan Eropa. Yang menyenangkan, walaupun berada di benua afrika, di seluruh tempat dari casablanca hingga perbatasan Gurun Sahara kita menemukan banyak mobil eropa. Mobil-mobil Mercedes seri-seri lama bisa dijumpai sebagai kendaran umum seperti van 410D sebagai angkot dan W123 sebagai taksi.
Kota labirin semacam Chefchaouen yang indah tidak hanya ada satu, tetapi banyak sekali. Fes adalah kota persinggahan kami selanjutnya, Kota sejuta gang-gang kecil yang didirikan dari abad ke 7 pada masa kejayaan Idrisid. Fez atau Fes adalah situs bersejarah yang di akui sebagai Unesco World heritage. Fes sendiri hingga 1912 menjadi ibu kota Maroko hingga diganti menjadi Rabat ketika meraih kemerdekaannya pada tahun 1955 setelah dijajah oleh Perancis.
Balak! Balak! Balak!
Dengan lebar 1-4 meter di ribuan gang kecil, orang-orang berteriak “Awas! Awas! Awas!”. Fes adalah kota labirin tanpa mobil, berupa rumah-rumah padat lengkap dengan universitas, sekolah, masjid, toko, penduduk, turis, gerobak, keledai, motor tua, semua tumpah ruah bercampur di Fes el Bali atau kota tua Fes. Di gang-gang Fes semua orang terlihat terburu-buru dengan setelan djellaba dan babouche, baju terusan khas afrika dan sendal-sendal terbukanya. Jangan berharap dengan Google maps atau GPS modern, karena kompleksitasnya dan kemiripan gang-gangnya menjadikannya sulit mengetahui secara pasti sebuah lokasi lengkap dengan jalan-jalan tikusnya.
Kompleksitas dari labirin fes di imbangi juga dengan kompleksitas ketukangan dari bangunan di dalamnya. Medersa Bouanania adalah salah satu universitas tertua di dunia yang terdapat di dalam Fes. Sekolah ini berupa ruang-ruang kelas dan mesjid yang di hubungkan dengan koridor jalan Fes el Bali dan courtyard.
Salah satu lokasi yang harus di datangi adalah Madrasa al-‘Attarin dan Madrasa al-Sahrij. Madrasa tersebut adalah sebuah tempat belajar yang sudah tidak di gunakan dengan dekorasi yang kompleks dengan bahan kayu cedar (semacam cemara) dan keramik bertabur. Dekorasinya berupa motif geometri islam digabung dengan kaligrafi yang kompleks dengan menggunakan ukiran atau potongan keramik. Di beberapa tempat, kita bisa lihat juga elemen dekorasi Muqarnas, sebuah elemen dekorasi yang kompleks membentuk kubah dari sebuah batu yang di pahat bersel-sel. Muqarnas seringkali menandakan kompleksitas keagungan Tuhan dalam Islam dalam bentuk perpaduan seni, matematika dan arsitektur.
Menikmati Fes juga perlu di rayakan dengan menikmati tagine. Tagine adalah makanan khas maroko yang dimasak dengan menggunakan keramik atau tanah liat bertutupkan kerucut. Daging ayam, ikan, sapi, atau unta dicampur dengan sayur atau buah seperti kurma diungkep atau dikukus secara perlahan. Memasak dengan Tajine adalah usaha untuk mempertahankan air dan uapnya didalam karena keterbatasan air di Maroko. Bumbu yang digunakan dalam tagine mengandung jahe, kunyit, jinten hingga saffron yang membuatnya memiliki rasa dan wangi yang kuat dan khas.
Rasa yang kuat dari Tagine diperlukan setelah mengunjungi Chouara Tannery. Chouara Tannery adalah salah satu tempat penyamakan (memproses kulit) tertua di dunia dengan metode yang masih tradisional. Chouara Tannery berada di dalam medina atau kota tua dari Fes terbagi menjadi dua area. Area pertama adalah tempat penyiapan kulit untuk disiapkan sebelum di warnai. Kulit di rendam dalam bak-bak berwarna putih yang berasal dari campuran kencing sapi, kotoran burung dara, garam, air dan kapur selama 2-3 hari agar bersih, empuk dan lebih mudah menyerap warna. Setelah selesai dengan bak pertama, kulit kemudian dicuci dan di rendam dalam pewarna alami. Dengan pemadangan yang menakjubkan namun bau yang sangat menyengat, Tagine panas dengan isi ayam utuh dengan potongan wortel dan paprika merah besar cukup untuk mengisi perut dan melupakan bau dari Chouara Tannery sebelum tersesat kembali di gang-gang Fes El Bali.
3
Bonjour!
Azul, Amek Tellid?
Dalam bahasa Berber, yang berarti halo, apa kabar? Seringkali menjadi bahasa pembuka dengan penduduk maroko. Semakin ke daerah Gurun Sahara, makin banyak penduduk suku Berber atau Tuareg yang berpindah-pindah mengikuti musim. Penduduk nomad ini biasa menggembalakan binatang untuk bertahan hidup.
Maroko sendiri berbatasan langsung dengan Gurun Sahara, Gurun terbesar di Dunia. Tempat para nomad berpindah karena kerasnya alam dan berjalan untuk hidup. Karena berpindah-pindah ini para nomad ini sering menyebut dirinya manusia bebas.
Penduduk Berber atau Tuareg ini memiliki karakter berpakaian djellaba dengan haik atau penutup kepala dengan kain panjang yang dililit berwarna biru indigo. Pakaian mereka yang berwarna biru ini berfungsi untuk melindungi kulit mereka dari sinar ultraviolet matahari.
Kehidupan Gurun Sahara ini bisa kita lihat di kota Merzouga. Turis di sungguhi paket perjalanan dengan unta menembus sedikit padang pasir gurun yang lembut dan dingin di kaki, dengan paket matahari terbit atau matahari tenggelam. Pada masa lampau, jalur Sudan – Merzouga, Tinghir, dan marakes adalah salah satu jalur perdagangan penduduk nomad. Pada jalur-jalur ini kebudayaan nomad dapat kita lihat jejaknya hingga kini lewat peninggalan arsitektur dan kebudayaannya.
Tinghir adalah oasis terindah di Maroko sepanjang hampir 50 KM dengan pepohonan kurma, rumah-rumah dari tanah yang berada di lembah pegunungan Atlas. Tak jauh dari Tinghir kita bisa menemukan Aït Benhaddou. Aït Benhaddou adalah Ksar/Ighrem kumpulan rumah yang dibentengi sebagai tempat bersinggah, berdagang di jalur nomad. Bangunan Aït Benhaddou di buat dari konstruksi tanah yang di padatkan. Bangunan dengan tanah ini menyesuaikan kondisi bahan yang tersedia di sekitarnya. Bangunan dari tanah yang menutupi satu bukit ini menjadikannya bangunan tanah yang megah dan menjadi destinasi turis hingga lokasi pembuatan film seperti dari Game of Thrones, Laurence of Arabia, hingga Gladiator.
Oasis di Tinghir mengingatkan saya film Casablanca (1942) atau lawrence of Arabia (1962) dengan lokasi-lokasi oasis yang indah. Film Casablanca sendiri adalah tentang krisis pengungsi yang tak lekang zaman karena kondisinya menyerupai hari-hari ini. Tak lama dari sekarang, film Casablanca menceritakan kemanusiaan, orang-orang eropa melintasi selatan eropa, meraih Lisbon atau Casablanca menuju tanah impian Amerika lari dari tentara Nazi, dimana sekarang kita mengalami keterbalikannya.
“We’ll always have Paris. We didn’t have, we, we lost it until you came to Casablanca. We got it back last night” sahut Blaine dengan tegar hati melepas Ilsa yang mantan kekasihnya di Paris sebelum ia naik ke pesawat ke Amerika dari Casablanca bersama suaminya yang menjadi buronan Nazi.
Oasis dan Gurun adalah satu kesatuan yang seringkali menjadi perumpamaan tulisan-tulisan di dunia barat. “Gurun di Dalam Gurun” oleh Jacques Derrida adalah salah satunya. Seorang Manusia di tengah gurun yang luas sekali dan kosong diumpamakan sebagai bayangan tentang manusia yang mengalami ketiadaan yang total. Dalam gurun, dalam ketiadaan-dalam kesunyian maka yang sakral hadir. Hidup mungkin pada satu masa memerlukan sebuah gurun dan kita berhasil keluar darinya, merasakan ketakjuban yang terus menerus bukan sebuah kesimpulan.
4
Maroko tidak hanya terdiri dari bangunan tanah dan kerajinan keramiknya yang terkenal, Kota-kota metropolitan seperti Casablanca dan Marakesh adalah kota yang kaya akan pertemuan budaya dan sejarah.
Lain dengan kota biru di Chefchaouen, Marrakesh adalah kota merah yang terdiri dari benteng-benteng besar berwarna merah. Daratan yang lebih subur di tanah Maroko lengkap dengan lapangan golf dan resort-resort mewah. Marrakesh adalah Parisnya Maroko.
Marrakesh mulai dibangun pada abad ke 10. Di dalamnya terdapat alun-alun besar Jemaa el-Fnaa yang di sebut sebagai “world-famous square”. Menurut sejarah asal usul nama Jemaa el-Fnaa karena penggunaannya sebagai alun-alun tempat eksekusi hukuman mati. Kini Jemaa el-Fnaa menjadi tempat hilir mudiknya para penduduk, pedagang, nomad hingga turis. Karena kawasan yang bersejarah ini, Jemaa el-Fnaa telah menjadi UNESCO World heritage Site.
“The spectacle of Jamaa el Fna is repeated daily and each day it is different. Everything changes — voices, sounds, gestures, the public which sees, listens, smells, tastes, touches. The oral tradition is framed by one much vaster — that we can call intangible. The Square, as a physical space, shelters a rich oral and intangible tradition. “
Juan Goytisolo seorang penyair dari Spanyol menuliskan kekuatan Jemaa el-Fnaa sebagai alun-alun dengan kualitas sejarah yang tinggi.
Tak jauh dari Jemaa el-Fnaa kita memasuki Souk terbesar di dunia. Souk adalah pasar yang menjual bermacam-macam dagangan. Souk ini bagaikan sebuah labirin di dalam sarang lebah dengan gang-gang yang memusingkan dan tertaut satu sama lain. Ketika kita sudah didalam souk, kita seperti di dalam Goa Aladin dengan barang-barang yang kemilau dan beragam. Dari Bumbu, karpet, pakaian, hingga pernak-pernik dan lampu-lampu khas Maroko.
Di luar area-area tradisional ini, di antara souk, bangunan-bangunan merah yang tak lebih tinggi dari minaret dari masjid Koutoubia, Jemaa el-Fnaa hingga benteng dan gerbang-gerbang besar, di Marakesh tersebar juga resort-resort kelas atas. Sebut saja Aman Jena, La Mamounia hingga resort milik raja, Royal Manshour. Resort dengan arsitektur dari yang kaya akan tekstur dan warna hingga sederhana dengan warna-warna tanah yang elegan.
“Marrakech introduced me to color . . . I am indebted to the country, to the violence of its harmonies, the insolence of its mixtures, the intensity of its inventions.”
Begitulah menurut Saint Lauren, desainer pakaian dari Perancis yang lahir di Algeria dan menghabiskan waktu mudanya di Marrakesh. Saint Lauren merasakan Marrakesh mengajarkan warna dari souk, plaza, jubah yang memperkaya bahasa rancangan pakaiannya.
Maroko adalah dunia belahan afrika yang kemilau, kaya akan budaya, perbaduan antara asia, eropa dan afrika. Dari sepiring ikan seabass dimasak dengan tajine di Restaurant du Port de Peche-Casablanca hingga makan malam Bastilla di La Mamounia-Marakesh, sebuah warqa pie yang berisikan daging burung dara dengan rasa sedikit manis bercampur kunyit, jahe, kayu manis dan safron. Dari peradaban suku Berber di gurun Merzouga hingga Kehidupan malam La Mamounia dengan jas dan dress, berbincang berbahasa perancis sambil menyisip wine merah. Di Maroko, kita belajar banyak.
“Amrek ma tkoul ndem dima koul t3alemt.”
Jangan pernah mengatakan aku menyesal tetapi selalu katakan saya belajar darinya. -Pepatah Maroko