Arsitektur Naungan

hari-hari ini sering dikemukakan oleh Josef Prijotomo juga sebelumnya sering di kaji melalui bahasa lain oleh YB mangunwijaya dan Silaban dan arsitek lain tentang sikap terhadap tropis. Tulisan ini adalah catatan perjalanan, pendapat dan pengembangan awal dari pengalaman melalui buku sejarah, filsafat, fiksi, jurnal, arsitektur, koran, tautan jejaring maya, berkegiatan praktek, perjalanan Rumah Asuh, kursus singkat, perjalanan, percobaan tentang metoda praktek membangun arsitektur di Indonesia hingga pertemuan pertemuan singkat dan diskusi setelah 5 tahun sejak lulus sarjana. Catatan ini juga merupakan eksplorasi yang tak usang dari remahan-remahan awal yang perlu di lanjutkan, kembangkan dan dibuktikan lewat belajar, lanjutan percobaan dan membuka diri untuk menerima kemungkinan baru.

 

Tempat

 

Pada mulanya manusia berpindah mencari tempat yang nyaman untuk hidup. Setelah lelah hidup berpindah pindah, manusia berusaha mencoba menciptakan kenyamanan dengan menetap dalam satu lokasi dan menyesuaikan diri terhadap kondisi tempat tersebut. Manusia kemudian menciptakan hunian dasar dengan menyesuaikan(adapt) secara bertahun-tahun hingga berabad-abad dengan tempat, yang di pengaruhi 3 faktor besar tempat yaitu : letak geografis, letak astronomis, dan letak geologis.

 

Letak geologis ialah letak suatu tempat berdasarkan struktur batu-batuan yang ada pada kulit buminya. Letak geologis dapat terlihat dari beberapa sudut, yakni dari sudut formasi geologinya, keadaan batuannya, dan jalur-jalur pegunungannya. Tanah memiliki ciri-ciri material dan struktur batuan kompleks yang terkandung di dalamnya baik mineral, karakter, zat, hingga minyak bumi. Kandungan tanah beserta batuan yang berada di suatu tempat, mempengaruhi keadaan tumbuhan apa saja yang dapat tumbuh. Dari tumbuhan ini binatang dapat hidup di sekitarnya. Bagi manusia, tumbuhan dan binatang ini menjadi sumber makanan dan mata pencaharian manusia. Bahan, kondisi lansekap, Tumbuhan dan binatang ini kemudian dipakai selanjutnya sebagai material konstruksi bagi manusia untuk menciptakan hunian seperti kayu, batu, hingga kulit binatang, untuk beradapatasi dengan iklim dan cuaca di sekitarnya serta pengaruh lain untuk melindungi fisiknya. Selain itu kondisi mineral, tumbuhan dan binatang ini juga digunakan manusia sebagai penghasil energi dasar, seperti api kemudian minyak untuk menghangatkan tubuh, sejalan dengan adaptasi dan teknologi sebagai sumber memasak, dan penghasil energi.

 

Letak geologis, juga menghasilkan potensi bumi. Potensi bumi adalah keadaan bumi yang berhubungan dengan air, angin, panas, dan aktifitas aktifitas bumi. Masing masing potensi ini memiliki dampaknya terhadap konstruksi bangunan hunian. Air, contohnya hunian dipantai atau pinggir sungai yang sering terkena pasang, akan mengangkat bangunan huniannya agar air tidak masuk kedalam bangunan. Angin, contohnya hunian yang sering terlanda angin kencang, akan menancapkan konstruksi bangunannya kedalam tanah agar tidak mudah tercerabut, disamping itu bentuk bangunan dibuat tidak menantang angin (aerodinamis) sehingga tidak merusak bangunan secara berarti ketika angin kencang terjadi. Disamping itu juga masih ada potensi bumi seperti gempa yang coba dipecahkan dengan konstruksi yang lepas dari tanah agar tidak menentang/lepas dari gerakan gempa atau dibuat pengikat-pengikat miring seperti struktur bawah bangunan vernakular(geografis) Nias agar konstruksi bangunan kaku, tetapi tetap terlepas dari tanah.

 

Letak Geografis ialah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis ditentukan dengan keadaan lautan dan daratan sekitar tempat. Letak geografis ditentukan pula oleh letak astronomis dan letak geologis.

 

Secara astronomis, kondisi tempat didasarkan pada posisinya pada garis lintang dan bujur bumi. Menurut geografis, dampaknya adalah kondisi Iklim dan cuaca disuatu tempat. Iklim dan cuaca setempat berdampak pada bagaimana manusia mengadaptasikan tubuhnya terhadap kondisi suhu lingkungannya. Pembagian iklim dan cuaca terhadap kemampuan penyesuaian tubuh manusia, terbagi atas; Iklim dan cuaca ekstrim contohnya adalah iklim sedang, dingin, hingga iklim kutub. di iklim ini terdapat suhu dan cuaca ekstrim seperti panas matahari hingga kondisi salju yang membuat manusia membutuhkan perlindungan. Tanpa perlindungan yang benar-benar tertutup, manusia tidak dapat hidup dengan iklim dan cuaca tersebut. Sedangkan iklim dan cuaca suhu yang bisa disesuaikan dengan tubuh contohnya adalah iklim tropis. Suhu tropis yang berada di antara 18-32 °C membuat manusia membutuhkan naungan sekedar untuk menghindari curah hujan tinggi dan terik matahari yang suhu rata rata sepanjang tahun masih dapat diadaptasi tubuh manusia tanpa sebuah perlindungan. Iklim secara langsung menghasilkan sikap tubuh-hunian terhadap alam.

 

Tropis, kemarau dan penghujan

 

Indonesia berada di Iklim tropis yang menurut koppen adalah berkarakter temperatur tinggi (pada permukaan laut atau ketinggian rendah) – dua belas bulan memiliki temperatur rata-rata 18 °C (64.4 °F) atau lebih tinggi. Indonesia sendiri berada di iklim hujan tropis dimana mengalami kelembaban 60 mm (2.4 in) ke atas sepanjang 12 bulan. Iklim ini terjadi pada garis lintang 5-10° dari khatulistiwa. Di iklim hujan tropis, Manusia bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan suhu alam sekitar.

 

Bioclimatic Analysis in Pre-Design Stage of Passive House in Indonesia by Santy, Hiroshi Matsumoto, Kazuyo Tsuzuki and Lusi Susanti
Bioclimatic Analysis in Pre-Design Stage of Passive House in Indonesia by Santy, Hiroshi Matsumoto, Kazuyo Tsuzuki and Lusi Susanti

 

Matahari dan Hujan adalah tantangan terbesar di lokasi tropis. Matahari sepanjang tahun, kelembapan yang tinggi, dan curah hujan yang tinggi, adalah potensi utama yang perlu di pertimbangkan dalam mengadaptasi hunian terhadap iklim tropis. Kegiatan manusia dapat di lakukan kapan saja bila tidak terganggu terik matahari dan curah hujan tinggi yang berpengaruh langsung terhadap tubuh manusia dan menghindari kelembapan yang berpotensi timbul bakteri dan penyakit bagi manusia. Suhu Iklim tropis tidak menjadi gangguan berarti bagi tubuh manusia. Dalam beberapa catatan, Josef prijotomo seringkali menyebutkan kebiasaan telanjang(hanya menggunakan cawat) masyarakat tradisional yang dinalarkan ketidakpengaruhan signifikan antara suhu iklim tropis dan tubuh. Penyesuaian hunian manusia untuk iklim tropis ini adalah “menghindari” efek langsung terik panas matahari dan curah hujan basah yang tinggi mengenai tubuh. Sehingga yang dibutuhkan dalam hunian tropis adalah yang menaungi kegiatan manusia dari terik matahari dan curah hujan yang tinggi. Dan sejatinya seperti pendapat Romo Mangun, manusia tropis, hidup di luar daripada di dalam.

 

Arsitektur Tropis, adalah tentang mengatasi bayang dan aliran udara. Arsitektur Tropis adalah arsitektur naungan.

 

Dengan memahami ciri ciri iklim dan cuaca tropis, maka kita bisa mengenali unsur yang membentuk arsitektur tropis, tetapi sebelum melanjutkan ke unsur pembentuk arsitektur lainnya, kita perlu memahami singkat tentang sejarah singkat terbentuknya fungsi, dan politik identitas.

 

Kegiatan Manusia dan Fungsi

 

Arsitektur dan tempat berjalan dengan sejarah yang panjang menyesuaikan kondisi lingkungan sekitar. Melalui trial and error manusia bersinggungan dengan alam, berusaha menyempurnakan tempat tinggalnya sehingga bisa menyesuaikan tubuh dengan huniannya terhadap alam.

 

Manusia menurut Diagram Maslow akan memenuhi kebutuhan fisiknya untuk dapat bertahan hidup, yaitu makan, minum, bernafas, sekresi, homeostatis, dan tidur. Pada taraf dasar selanjutnya manusia mulai berpolitik mencari lawan jenisnya sebagai pemenuhan seks untuk bereproduksi.

 

Untuk memenuhi kebutuhan reproduksi, manusia mulai menciptakan sistem sosial termasuk politik. Hubungan hubungan yang semakin kompleks dalam kehidupan sosial kemudian berlanjut tidak hanya pada jalan mencari lawan jenis dan bereproduksi. Manusia yang tinggal dalam satu tempat bertambah banyak dan menjadi satu komunitas kemudian mulai membagi peran, bergotong royong sebagai komunitas sesuai kemampuannya dan mulai saling bergantung untuk saling memenuhi kebutuhannya. Hubungan hubungan manusia yang diatur ini menjadi satu kesepakatan sosial agar komunitas manusia yang didalamnya bisa hidup berdampingan dengan adil. Komunitas yang terbentuk dari sistem sosial kemudian membentuk kegiatan dan fungsi baru didalam hunian untuk menyediakan fasilitas sosial. Hunian kini terbagi menjadi tempat yang memisahkan aktifitas fisik yang privat sesuai dengan nilai sosial yang terbentuk. Manusia hidup berkelompok dan ruang ruang bersama tercipta baik di dalam hunian maupun di luar hunian. Kesepakatan sosial juga membentuk sistem ekonomi agar hasil dari peran masing masing manusia dapat dinilai dan dihargai sehingga bisa ditukar dengan kebutuhan lainnya. Disamping itu, manusia juga mempertanyakan tentang asal usul hal, hingga menelurkan sistem kepercayaan yang menyesuaikan sistem sosial setempat.

 

Perkembangan sistem sosial, kepercayaan, politik, ekonomi, teknologi dan politik yang berkembang secara kompleks dan kumulatif, kemudian menumbuhkan fungsi-fungsi kegiatan baru dalam komunitas dan membutuhkan tempat yang nyaman untuk berkegiatan sesuai fungsinya. Lumbung makanan, ruang tamu, tempat bermusyarah, penjara, kantor ketua adat, tempat ibadah, restoran, hingga bank berkembang secara kumulatif.

 

Dengan berjalannya perkembangan manusia diseluruh dunia, manusia yang membentuk sistem sosial dan ekonomi, melakukan perjalanan ke tempat-tempat lain untuk mencari tempat yang lebih nyaman baik dengan motif kenyamanan tempat-tubuh hingga motif politik dan ekonomi. Pengaruh luar tempat mulai saling menginspirasi baik dari sistem kebudayaan, kepercayaan sosial, ekonomi hingga teknologi.

 

Dari ekspansi Manusia Austronesia, masuknya pengaruh India, Eropa, timur tengah hingga sekarang, informasi baru berdatangan. Fungsi turut berkembang secara akumulatif dengan Bahan dan Teknologi seperti bata merah hingga sistem dinding dan beton mewarnai perkembangan Arsitektur Indonesia. Masing masing zaman berusaha mewakilkan bahan dan fungsi, juga berusaha menyesuaikan terhadap kondisi alam.

 

Identitas

 

Kebutuhan manusia menurut diagram Maslow, setelah pemenuhan fisik telah tercapai, manusia kemudian mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang timbul karena sistem sosial, seperti rasa aman, percaya diri, kognitif, estetik, aktualisasi diri hingga pemenuhan yang transenden. Sebagai bagian dari satu komunitas yang besar, manusia kemudian membuat tanda dan simbol sebagai satu bahasa untuk berinteraksi dan memenuhi kebutuhan sosialnya. Tanda dan simbol ini akhirnya digunakan manusia sebagai identitas diri, maupun identitas komunitas untuk membedakan dengan diri atau komunitas lainnya.

 

Setelah bangunan hunian, kegiatan bertambah dan beragam, sehingga membentuk arsitektur baru sesuai dengan fungsi baru yang dibutuhkan komunitas atau masyarakat. Sebagai satu komunitas, manusia yang berusaha memenuhi kebutuhan sosialnya melalui perjuangan identitas juga turut berdampak pada arsitekturnya. Identitas ini digunakan baik untuk membedakan fungsi, kepemilikan komunitas, baik suku, kepercayaan hingga negara sebagai pemenuhan rasa “bersama”

 

Dari proses pengaruh mempengaruhi sebelum jaman majapahit, arsitektur vernakular(geografis) yang masih hidup, pendudukan belanda hinga menjadi negara Indonesia, kita bisa melihat pengaruh identitas muncul dalam arsitektur. Satu contoh menjelang kemerdekaan, arsitek-arsitek belanda seperti wolff schoemaker dengan politik etis berusaha mengadaptasi kondisi alam dengan mencoba teknologi bangunan modern digabungkan dengan identitas bangunan vernakular yang telah ada, bahkan dengan sadar meletakkan identitas dibangunan pada saat tersebut, seperti dikutip dibuku tegang bentang, “arsitektur occidental (barat) merupakan suatu konstruksi yang bersifat totalitas, sedangkan arsitektur tradisional Indonesia merupakan susunan yang subyektif, elementer, dengan mengutamakan wajah luar terutama wajah depan”.

 

Perjuangan identitas berlanjut pada awal masa kemerdekaan, pemerintahan presiden Soekarno, menggunakan gaya modern sebagai nation building. Moderninsme atau usaha untuk membawa semangat zeitgeist, “Kesatuan Indonesia”. Keadaan ini didukung dengan proyek-proyek pada saat itu dengan gaya internasional oleh arsitek-arsitek generasi Sujudi, Silaban, dsb yang mendominasi arsitektur di Indonesia. Periode selanjutnya, arsitektur kemudian di dikte oleh kekuasaan Presiden Soeharto untuk menciptakan Indonesia yang “satu(generik)” dengan program-program standarisasi. Pada masa Soeharto terjadi juga jawanisasi dengan menjadikan Bangunan Joglo sebagai bangunan pemerintahan/nasional. Arsitektur vernakular lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, yang masih hidup dianggap sebagai arsitektur tradisional yang sudah lewat masanya.

 

Masyarakat yang jengah dengan politik imperialisme ini, kemudian mulai menyuarakan kebosanan terhadap modernisme. Post-modernisme hadir karena Modernisme dianggap tidak bisa menyuarakan keragaman dan pluralisme yang ada diseluruh indonesia. Ditandai pada tahun 1984 ketika konggres IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) tentang mempertanyakan Arsitektur Indonesia, kemudian berlanjut hingga gerakan seperti LSAI (Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia), AMI (Arsitek Muda Indonesia) dan kelompok-kelompok setelahnya yang mencoba memberikan pandangan lain dalam usaha memperjuangkan tentang keragaman.

 

Sudah 50 tahun, Post-modern sejak kelahirannya menjadi momok menakutkan di dunia arsitektur. Sesuatu yang terus menerus di hindari oleh mahasiswa dan praktisi, tetapi pada kenyataannya taktik dan metodenya telah berhembus dan terbangun dengan diam diam. Setiap orang melakukan post-modern. Setiap orang melakukan dekorasi. Kita kurang lebih sepakat seakan mempertanyakan “otentik”. Kini setiap orang bisa menggunakan sejarah, budaya, referensi, tema, metafora, memori, pengalaman, sebagai metode tanpa rasa malu. Alih alih arsitektur modern yang terlalu dingin dan mewakili imperialisme, post-modern atau melalui sebutan(teori) lainnya hadir sebagai jawaban atas pluralisme, mewakili suara-suara keragaman. Modern yang sebelumnya menjadi semangat jaman baru, pemersatu, kini digantikan dengan bahasa lebih sopan, melalui abstraksi abstraksi identitas, seringkali dalam bentuk yang lebih sederhana.

 

Dalam sejarah arsitektur Indonesia, modernisme tidak pernah benar benar terjadi menjadi gerakan sama seperti di Amerika, ia hanya menjadi sebuah gaya. Begitu juga dengan post modernisme yang alih-alih menjadi semangat pembawa keragaman atau lomba otentisitas atas dorongan konsumerisme.

 

Tidak dapat di pungkiri, Indonesia dengan keragaman yang luar biasa membuat masing masing baik pribadi maupun secara kelompok memerlukan identitas yang menginformasikan karakter masing masing usul, tempat, dan budaya termasuk dengan praktek arsitektur dan arsiteknya yang sadar/tak sadar berada dalam taktik post modern ini.

 

Metafora tsunami yang diusung ridwan kamil dalam bentuk bangunan museum aceh, Tema jendela dan pintu dalam fasade Bar dan restaurant Potato Head oleh andramatin, Kulit kedua bata kerawang di bangunan fakultas elektro UI oleh Yori Antar, Menara Phinisi di Makasar oleh Yu sing, hingga peminjaman tampilan kubus-putih-berlubang-acak-kotak di sekolah bogor raya oleh Indra Tata Adilaras

 

Fungsi, teknologi, dan wajah arsitektur, berkembang akumulatif dengan sistem sosial hingga politik pada zamannya. Arsitektur di Indonesia sekarang memiliki tantangan dengan semakin terbukanya informasi lewat teknologi informasi. Arus deras informasi baik teknologi, teori, visual turut serta memeriahkan praktik arsitektur di Indonesia. Arsitektur di Indonesia sekarang selain memiliki dimensi sosial yang kian kompleks, juga memiliki permasalahan menyaring informasi dan tanda tanda untuk kemudian memilih yang bisa disesuaikan terhadap tempat.

 

Unsur Arsitektur Naungan

 

Sistem sosial, politik, kepercayaan, hingga ekonomi ditambah dengan masalah masalah kontemporer membuat arsitektur mengembangkan diri sesuai pemahaman bahan dan teknologi pada zamannya untuk memenuhi kebutuhan fungsi dan identitas yang semakin beragam dan juga terpenting adalah pembagian fungsi kegiatan melalui pemintakatan (penzoningan) area terhadap hubungan dengan tempat.

 

Namun, yang perlu di pikirkan kembali setelah masuknya pengaruh fungsi dan identitas, adalah menarik kembali arsitektur ke hubungan manusia dan tempat, tempat dimana tempat saya tinggal, Indonesia, yang senantiasa menjadi gambaran besar masalah tubuh dan tempat adalah tropikalitas dengan sinar matahari dan curah hujan tinggi, tentang naungan.

 

Dengan dasar naungan, maka perlu ada pengertian kembali dari masing masing unsur. Untuk memudahkan praktikalitas dalam desain, maka yang perlu di perhatikan dalam tiap unsur arsitektur dasar setelah mengartikan kembali adalah mempertanyakan masalahnya dengan alam dan hubungannya dengan tubuh manusia itu sendiri.

 

Mintakat (zoning)

 

Sejalan dengan konsep naungan, pertanyaannya adalah bagaimana memetakan tempat untuk kegiatan sesuai dengan kebutuhan. Perlu ada cara pembagian mintakat dari fungsi dan program, baik hasilnya tempat berupa ruang dan massa tanpa harus mengorbankan bagaimana udara, dan cahaya tetap dapat mengalir dan atau menembuskan(permeable). Mintakat yang tetap mengalirkan atau dan menembuskan(permeable) secara berkelanjutan

 

  • kegiatan dan fungsi apa saja yang perlu di bagi antara privat dan umum
  • bagaimana menyesuikan terhadap paparan panas yang begitu besar di iklim tropis
  • bagaimana pembagian mintakat pada lahan yang sempit
  • bagaimana membagi mintakat sesuai privat dan umum tanpa mengorbankan kebutuhan cahaya dan aliran udara.

 

Sempadan (batas)

 

Hal yang paling sulit setelah pemintakatan adalah menentukan sisi yg menjadi perhinggaan suatu tempat (ruang, daerah, dan sebagainya) melalui ketentuan yg tidak boleh dilampaui. Mengartikan ulang tentang sempadan dalam arsitektur naungan, menjadi penting untuk menentukan cairnya dan sifat ketembusan masing-masing mintakat sebagai sikap terhadap bayang dan aliran udara.

 

  • apakah ada ketentuan yg tidak boleh dilampaui
  • bagaimana sebuah sempadan mewujud untuk memisahkan mintakat
  • bahan apa yang bisa memisah kegiatan privat dari suara, dan pandangan tetapi tetap meresapkan udara dan cahaya agar tidak lembab?
  • bagaimana menjaga suhu tiap tempat agar stabil
  • bagaimana menanggulangi angin yang terlalu keras
  • bagaimana menanggulangi paparan matahari yang panas sepanjang waktu
  • bagaimana menanggulangi agar binatang yang tidak diinginkan tidak masuk ke tempat kegiatan manusia

 

Naungan (Peneduh)

 

Untuk menghindari curah hujan dan panas sinar matahari langsung, maka dibutuhkan naungan yang dapat membuat manusia tetap dapat berkegiatan tanpa terganggu. Naungan pada awal terbentuknya adalah penyesuaian peneduh dari hal sederhana untuk dari berteduh sekedar dibawah pohon atau memanfaatkan gua kemudian berkembang dengan membuat dan merangkai bahan sekitar lingkungan seperti dedaunan atau kayu untuk digunakan sebagai naungan.

 

Di iklim hujan tropis, kelembapan tinggi sering terjadi karena penguapan air yang tinggi. Kelembapan tinggi menimbulkan masalah bagi penghuni karena memicu timbulnya jamur atau bakteri penyakit yang berdampak pada tubuh manusia. Untuk mengadapatasi sebuah hunian, maka diperlukan pemahaman bahwa ruang dibawah naungan bisa dilewati angin agar ruangan tidak menjadi lembab.

 

Dalam sejarah arsitektur, naungan ini dikembangkan menjadi elemen atap dalam bangunan. Atap naungan tropis pada awalnya adalah sebuah elemen untuk meneruskan curah hujan yang tinggi dengan segera ke tanah. Seiring dengan perkembangan teknologi, atap dapat mengalami transformasi dari bentang pendek ke bentang lebar yang disesuaikan dengan fungsi kegiatan yang akan menempati di bawahnya.

 

Naungan, di iklim tropis yang kemudian menandakan tempat berkegiatan khusus yang dapat dilakukan dimana ruang dibawahnya terbebas curah hujan tinggi dan sengatan terik matahari yang langsung mengenai tubuh.

 

  • ketika curah hujan tinggi, air diturunkan secepat cepatnya ke tanah, tetapi kesiapan tanah untuk menyerap tidak baik.
  • bagaimana atap yang besar atau luas tetapi tetap terang di ruang dalam
  • bagaimana konsep naungan disusun dalam hunian tinggi
  • bahan apa yang memiliki daya tahan tinggi terhadap terpaan panas dan hujan, mudah diganti bila rusak
  • Bagaimana proporsi, skala naungan terhadap tubuh

 

Setelah mengartikan kembali dan “mempertanyakan” masing-masing unsur dasar arsitektur: manusia dan tempat, kemudian dicari pemecahan masalahnya secara utuh dengan unsur solusinya baik bahan (struktur dan teknologi) dan idiom estetika tampilan yang dibutuhkan bagi masing masing manusia, komunitas atau tempat itu sendiri.

 

Dari sekian solusi mintakat dan naungan, berikut ini adalah beberapa pendapat atas melalui percobaan karya, melihat, hingga merasakan beberapa bangunan arsitek yang saya datangi yang menghasilkan beberapa “cara” untuk diterjemahkan kedalam konteks kekinian untuk mengatasi bayang dan aliran udara adalah :

 

  • mintakat yang menembuskan (permeable) : melalui pembagian mintakat dengan merancang ruang dan masa diantara ruang terbuka yang berorientasi menembuskan dengan ruang terbuka, gaya hidup tropis dengan aliran udara yang baik bisa mengalir. Dengan pengolahan mintakat yg menembuskan, maka terdapat beberapa keuntungan yang tercipta, yaitu;
  • kontrol kegiatan : membagi mintakat sesuai fungsi atau sifat seperti privat dan umum menentukan bagaimana cairnya hubungan masing masing sifat kegiatan dengan ruang ruang terbuka dan solusi menembuskan bagi masing-masing fungsi dan sifat kegiatan.
    ruang interaktif : dalam skala mendatar(horizontal), ruang terbuka maka menyediakan bahkan memancing bagi manusia/komunitas untuk interaksi guyub seperti di taman, plaza, setapak, dan lain sebagainya..
  • skala ketinggian : dalam bangunan tinggi masalah kepadatan menjadi penting, tetapi perlu ada solusi dalam skala bangunan agar tetap dalam skala manusia sehingga perlu dibagi sehingga memiliki satu ruang terbuka dalam skala vertikal. Dalam beberapa kasus membuat mintakat melayang memberikan efek menembuskan secara trimatra baik mendatar ataupun meninggi.
  • lansekap bagian dari arsitektur : pohon besar dan rindang adalah unsur baik untuk menaungi panas dan hujan lewat daun dan ranting rantingnya. Menggunakan pohon berarti juga menurunkan suhu lewat bayangnya bagi tubuh, dan menyejukkan bagi mata. Pohon juga sekaligus menyediakan skala manusia, sehingga dalam skala kota, skala dan garis langit buatan manusia yang kadang terlalu tinggi, menyilaukan, dan membosankan direduksi dengan kehadiran pohon. landsekap seperti tanaman rambat atau pohon berfungsi tidak saja meneduhkan bangunan tetapi menjadi pilihan lain membagi mintakat secara umum dan privat.
  • payung peneduh : pohon berhasil dalam kondisi tropis memberikan naungan yang teduh, sama seperti halnya teritisan atap miring yang melindungi curah hujan tinggi, tetapi juga melindungi panas langsung ke dinding atau jendela langsung. Selain panas ke atap, sebagian besar panas matahari juga mengenai dinding dan ruang dalam. perlu ada payung payung peneduh yang bisa mengurangi panas ini yg meneduhkan baik melalui bayangan dan keporian tanpa mengorbankan pandangan.
  • berpori : seperti dalam bangunan vernakular(geografis) tropis, banyak material pemisah ruang privat menggunakan kayu, bambu dan ijuk yang memberikan angin sejuk mengalir dari ruang ke ruang. Melalui kreativitas pola dan jenis bahan, konsep berpori bisa menjadi alternatif penghawaan alami sekaligus memisahkan privat dan umum.

 

Arsitektur Mengkini

 

Hari hari ini, kita terbenam dalam waktu yang serba cepat, kecepatan adalah kemajuan, kekuatan/kecepatan menggeser kekuatan/pengetahuan. Hidup dengan gaya konsumerisme kini dinilai dengan uang/produksi. Sukses dinilai dengan kecepatan. Begitu halnya dengan teknologi media informasi, berlomba lomba menyajikan kecepatan dan keseketikaan informasi. Kecepatan memberikan kepuasan.

 

Dunia yang datar karena teknologi informasi ini, kemudian di pakai sebagai jejaring informasi-seketika tentang arsitektur. Informasi bertebaran dengan tanda-tandanya. Jejaring informasi kemudian digunakan arsitek meluaskan fungsinya sebagai; tempat diskusi, kritik, tempat promosi, propaganda, dan lain sebagainya. Informasi dan tanda bertebaran dalam keseketikaan.

 

Hari hari ini, dalam kecepatan dan budaya konsumerisme, kita dituntut untuk terus berproduksi. Praktikalitas ditantang dengan arus permukaan untuk di bangun. “Membaca” adalah kemewahan bagi yang berpraktek. “Membangun” adalah kemewahan bagi akademisi. Tidak ada yang sempurna, pandangan/teori ideal dan praktek ideal. Praktek menemukan masalah realitas tumpang tindih yang tidak tertulis dalam teori dan butuh solusi praktis. Dan teori menemukan masalah yang begitu kompleks, terus berubah dan tidak ada yang sempurna menyelesaikan satu hal.

 

Melalui idiom estetika modern seperti gestalt dan postmodern seperti pastiche, parodi, kitch, camp, skizofrenia yang banyak digunakan melalui bayang bayang jargon/teori seperti critical regionalism, community based, dekonstruksi, desain parametrik, historicism, fenomenologi, dan sebagainya, arsitektur seringkali terjebak dalam permainan tanda, menjadi fetisisme komoditi. Arsitektur melalui permainan tanda dan makna ini seringkali mengandung unsur distorsi yang menyesatkan antara fungsi, makna dan nilainya sehingga dapat menggiring publik ke tingkah laku yang menyimpang. Arsitektur kemudian memiliki pesona yang sesungguhnya tidak ada. Arsitektur menjadi hiperrealitas komunikasi, kepalsuan menjadi kebenaran, isu menjadi sebuah informasi.

 

Tanda dan kandungan informasi yang terjadi dalam arsitektur sekarang perlu di telaah secara kritis. Penilaian arsitektur yang kian terbagi “orisinil atau tidak” “bagus jelek” perlu di pahami terbagi dalam dua kutub subyektif dan obyektif. Aspek obyektif berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang yang membatasi proses pengembangan arsitektur, seperti teknologi, teknik, material, konvensi, dan kode bahasa. Sedangkan aspek subyektif berkaitan dengan kemampuan daya kreatif yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideologi atau ketidaksadaran arsitek.

 

Di tulisan ini arsitektur naungan adalah salah satu cara memahami secara obyektif dalam mencoba memecahkan masalah tubuh dan tempat yang saya harapkan bisa secara radikal (mengakar) terhadap dominasi masalah tempat di Indonesia yaitu iklim tropis basah. Masih ada masalah berikutnya yang masih memerlukan kajian dalam perjalanan saya sebagai arsitek, namun bisa kita jawab bersama-sama dengan payung arsitektur naungan, yaitu;

 

  • meningkatnya jumlah penduduk dan arus urbanisasi, manusia kini mendominasi kota. Kota dengan batas luasnya yang terbatas kini menghadapi masalah karena jumlah manusia yang harus di atur, bagaimana arsitektur naungan melalui bahan dan teknologi dapat berperan dalam kepadatan tinggi bisa menjadi pemecahan masalah termasuk turunannya seperti sosial budaya politik dan lain sebagainya.
  • Tingkat keberhasilan arsitektur naungan dengan pemecahan subyektif melalui hiburan, kreatif dan estetik yang dilakukan dilapangan dengan analisa rencana dan keberhasilannya baik meliputi metoda detail, skala, proporsi dan lain sebagainya.
  • Bahan(material) dan teknologi apa yang bisa kita ciptakan sebagai jawaban akumulatif dari arsitektur naungan sesuai unsur-unsur di atas.
  • Mengingat belum meratanya pembangunan di Indonesia, arsitektur yang bisa menjangkau semua kalangan termasuk ekonomi rendah perlu dipikirkan sebagai tanggung jawab bersama.
  • Bagaimana mengaitkan hubungan arsitektur naungan sebagai kesatuan utuh, sebagai cara manusia menghuni melalui hubungannya dengan tempat-manusia dan liyan.

 

Memang, arsitektur naungan tanpa pemahaman yang dalam akan dianggap sekedar arsitektur atap sebagai solusi arsitektur tropis dan kemudian terjebak dalam perlombaan menganyam wajah. Pada akhirnya, Arsitek sebaiknya mendahulukan penyelesaian masalah objektif(yang membatasi proses), meningkatkan pengetahuan obyektif dan mengurangi pengetahuan palsu (pseudo knowledge) melalui hubungan manusia dan tempat dan masalah lainnya tanpa mengurangi unsur subyektif seperti hiburan, kreativitas dan estetika. Arsitektur perlu dikritisi sehingga berbagai bentuk salah persepsi dapat di hindarkan, lalu membagi kritik secara luas dampak arsitektur sebagai pendidikan ke masyarakat, dibanding berkutat pada “meniscayakan (sekedar) Tampilan yang meng-Indonesia” yang seringkali terjebak dalam politik identitas.

Jakarta, Febuari 2013

 

About the author